Edukasi

Antara Peluang dan Konflik: Masa Depan Desa dalam Pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa

Oleh : Alda Dwi Nirmala, Fatimah Azzahra, dan Zalwan Al Faqih Program Studi Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Teknologi Sumbawa.

Isu adanya pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa (PPS) bukanlah hal baru dalam diskursus pemekaran wilayah di Indonesia. Wacana pembentukan Provinsi Pulau Sumbawa sudah di mulai sejak tahun 2011 pada kongres rakyat yang berlokasikan di lapangan Karato, Sumbawa Besar, wacana tersebut disuarakan oleh ribuan warga dari lima Kabupaten dan Kota yang ada di Pulau Sumbawa dan di hadiri oleh DPR dan DPD asal NTB serta seluruh Bupati dan Wali Kota se pulau Sumbawa. Dasar utama wacana pemekaran adalah ketimpangan pembangunan antara Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa yang selama ini menjadi bagian dari Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Data BPS NTB tahun 2023 menunjukkan bahwa Pulau Lombok menyumbang sekitar 68% Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) NTB, sedangkan Pulau Sumbawa hanya berkontribusi sekitar 32%, meskipun memiliki luas wilayah lebih besar.

Jika PPS terbentuk, struktur pemerintahan akan berubah, termasuk pada level desa. Dari sisi positif, desa-desa yang selama ini jauh dari ibu kota provinsi (Mataram) akan lebih dekat dengan pusat pemerintahan baru. Ini akan meningkatkan efisiensi pelayanan publik, mempercepat proses koordinasi, dan mengurangi ketergantungan administratif terhadap wilayah yang secara geografis sulit dijangkau. Menurut Kemendagri, rata-rata desa di Kabupaten Bima dan Dompu harus menempuh perjalanan hingga 12-15 jam untuk mengakses ibu kota provinsi saat ini. Pemekaran dapat memangkas waktu ini hingga separuhnya, tergantung lokasi ibu kota PPS yang nantinya dipilih (Sumbawa Besar menjadi kandidat kuat).

Pemekaran juga membuka peluang peningkatan anggaran ke desa. Berdasarkan kebijakan umum pemerintah pusat, daerah baru akan mendapat alokasi anggaran pembangunan prioritas selama lima tahun awal. Misalnya, saat pemekaran Provinsi Kalimantan Utara pada 2012, total belanja daerah meningkat hingga 90% dalam tiga tahun pertama, yang turut berdampak pada peningkatan alokasi ke desa. Jika pola ini diterapkan di PPS, maka desa-desa di Pulau Sumbawa berpotensi menerima tambahan dana untuk infrastruktur, penguatan BUMDes, serta program sosial berbasis masyarakat.

Namun, pemekaran juga bukan tanpa risiko. Masa transisi pembentukan provinsi baru akan memerlukan penyesuaian besar dalam sistem pelaporan, struktur kelembagaan, dan birokrasi. Pemerintah desa bisa kewalahan jika tidak mendapat pelatihan dan pendampingan. Selain itu, ketimpangan antarwilayah desa juga berpotensi meningkat. Desa-desa yang lokasinya dekat dengan ibu kota provinsi kemungkinan besar akan mendapatkan akses pembangunan lebih awal dibanding desa-desa di pinggiran, seperti di perbatasan Dompu–Bima.

Dinamika politik lokal juga menjadi perhatian. Dalam proses pemekaran sebelumnya di Indonesia, seperti pembentukan Provinsi Papua Barat dan Sulawesi Barat, sering muncul konflik antara kelompok elit lokal dalam menentukan lokasi ibu kota, pengisian jabatan struktural, dan perebutan anggaran. Konflik semacam ini bisa menjalar ke tingkat desa dalam bentuk tekanan politik terhadap kepala desa, konflik batas wilayah antar desa, hingga ketidakstabilan sosial. Jika hal ini terjadi, maka tujuan utama pemekaran—untuk mempercepat pelayanan dan pembangunan—bisa terhambat.

Dari sudut pandang hukum, pemekaran provinsi diatur dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah dan diperjelas melalui PP No. 78 Tahun 2007 tentang Tata Cara Pembentukan, Penghapusan, dan Penggabungan Daerah. Untuk menjadi provinsi baru, PPS minimal harus terdiri dari 5 kabupaten/kota, memiliki potensi ekonomi, sosial, dan budaya yang mendukung, serta mendapat persetujuan dari DPRD provinsi induk, gubernur, dan pemerintah pusat. Saat ini, wilayah calon PPS telah memenuhi syarat administratif, karena mencakup 4 kabupaten (Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima) dan 1 kota (Kota Bima).

Dengan mempertimbangkan semua faktor tersebut, pemekaran Provinsi Pulau Sumbawa merupakan peluang besar untuk mendorong kemajuan desa—tetapi hanya jika dilaksanakan dengan perencanaan yang matang, pendampingan teknis yang kuat, dan distribusi pembangunan yang merata. Pemerintah pusat harus memastikan bahwa pemerintah desa tidak menjadi korban dari proses transisi dan tarik-menarik kepentingan politik yang sering muncul dalam pemekaran wilayah.

Related Articles

Back to top button