
Oleh: Andi Ilham, Koordinator Riset dan Kajian Strategis Forum Komunikasi Aktivis Kesehatan (FKAK) NTB
Viralnya kembali video iring-iringan nyongkolan sepasang remaja di Lombok Tengah, seorang siswi SMP berinisial YL (15) dan siswa SMK berinisial RN (16). Ini bukan sekadar fenomena budaya yang romantis, melainkan alarm keras yang membentur akal sehat kita bersama. Di usia di mana mereka seharusnya duduk di bangku kelas, merajut mimpi, justru harus mengikat diri dalam ikatan yang belum waktunya: pernikahan anak.
Saya menolak keras praktik pernikahan dini ini. Bukan hanya karena ia melanggar norma hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 10 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), tetapi juga karena ia adalah ancaman nyata bagi kesehatan generasi kita.
Kita tidak sedang bicara soal adat atau restu keluarga. Kita bicara tentang kesehatan mental dan fisik anak-anak yang dirampas paksa oleh sistem sosial yang permisif, oleh birokrasi yang mandul, dan oleh pemerintah daerah yang lebih sibuk membuat perda ketimbang mengawalnya.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan ironi yang sangat menyakitkan, dimana ketika angka perkawinan anak secara nasional menurun, NTB justru naik dari 16,23% (2022) menjadi 17,32% (2023) dan terus semakin meningkat hingga saat ini. Apa artinya? Pemerintah daerah boleh saja bangga dengan Perda No. 5 Tahun 2021 atau Pergub No. 34 Tahun 2023 tentang pencegahan perkawinan anak. Tapi tanpa eksekusi di lapangan, semua regulasi itu hanyalah kertas mati atau bualan semata.
Sebagai aktivis kesehatan, saya tegaskan, bahwa pernikahan anak adalah bom waktu. Risiko kehamilan usia dini, komplikasi obstetrik, stunting, hingga gangguan psikososial bukan lagi kemungkinan, tapi keniscayaan yang terus dibiarkan terjadi. Kita sedang menyaksikan anak-anak menjadi ibu sebelum tubuh mereka siap dan menjadi dewasa sebelum mental mereka cukup kuat.Apa yang dilakukan pemerintah daerah? Diam, atau pura-pura sibuk di balik jargon pemberdayaan perempuan. Padahal, satu video viral seperti ini cukup untuk membatalkan klaim mereka tentang keberhasilan program pencegahan. Sebab ketika pernikahan dini terus terjadi, itu bukan karena aturan kita kurang, tapi karena keseriusan kita lemah.
Kami di Forum Komunikasi Aktivis Kesehatan (FKAK) NTB mendesak dan mengecam Pemda, terutama Dinas Kesehatan dan Dinas P3AP2KB, untuk turun dari podium dan masuk ke realitas masyarakat untuk melakukan audit sosial, datangi sekolah dan desa, edukasi orang tua, dan pastikan tidak ada lagi anak-anak yang dinikahkan dengan dalih “sudah cinta” atau “daripada zina”.
Karena membiarkan anak menikah dini bukan solusi moral, tapi bentuk baru dari kekerasan struktural. Pernikahan anak adalah kegagalan kita bersama dan kami (FKAK NTB) sebagai forum pengawal segala isu kesehatan dan juga merawat sistem kesehatan di NTB menolak diam akan segala hal yang tidak semestinya.