BudayaEdukasiTokoh

Analisis Psikologi Sastra Sumbawa

Cahyatul Komala1, Ines riska utami2, Juanda3

Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
1,2,3, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Universitas Samawa,
Jln. Raya By Pass Sering, Sumbawa, Indonesia,
E-mail: komalacahyatul@gmail.com
.

Abstrak

Artikel ini bertujuan untuk mendeskripsikan tentang psikologi atau kejiwaan pengarang. Terciptanya sebuah karya sastra tidak terlepas dari aspek psikologi pada pengarang. Latar belakang karya sastra ini muncul berdasarkan pengalaman kehidupan si pengarang. Pengalaman hidup dan dialog-dialog yang sering ia lakukan dengan teman sejawatnya, digunakan sebagai topik utama dalam penelitian ini. Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif dengan menggunakan pendekatan psikologis. Data penelitian ini berupa kata-kata, kalimat-kalimat, ungkapan ataupun paragraf-paragraf. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca dan teknik pencatatan.

Peneliti melakukan proses membaca terhadap buku yang telah dipilih secara menyeluruh kemudian mencatat data-data yang memiliki keterkaitan dengan konsep psikologi. Hasil dari penelitian ini membuktikan bahwa, latar belakang pengarang memberikan dampak atau pengaruh terhadap lahirnya sebuah karya sastra. Terciptanya karya sastra tersebut berdasarkan adanya desakan emosional dan rasional pengarang. Kepedulian pengarang terhadap seni menjadi jawaban dari kegelisahannya atas realitas sosial yang semakin menjauh dari nilai-nilai budaya yang menjadi akar keberadaan bangsa.
Kata kunci: psikologi sastra, pengarang.

Pendahuluan

Karya sastra merupakan suatu bentuk fenomena psikologi (kejiwaan). Kita mampu memahami kejiwaan seorang pengarang melalui karya sastranya, dan kita juga bisa memahami psikologi melalui karya sastra. Dengan demikian, sastra tidak lepas dari konteks psikologi dan begitupun sebaliknya, psikologi tidak lepas dari sastra.

Seni sastra (puisi, cerpen, novel atau naskah drama) bagian dari seni bahasa yang merupakan salah satu pilar dari kebudayaan seperti cabang-cabang lainnya, bahkan hidup ini sendiri berada dalam proses waktu menuju keindahan hidup sesungguhnya. Begitupula seni sastra yang mempersoalkan hari kemarin, hari ini, dan esok. Seorang penulis mempertaruhkan hidupnya untuk setiap kata terbaik yang bias dicapainya yang menghayati setiap detik dan setiap inci dari gerak hidupnya, demi gagasan yang hanya mungkin dilahirkan oleh pengalaman yang dialaminya (Dinullah Rayes, 2014: 156)
Kajian psikologi dalam studi sastra mengkaji aspek psikologis pengarang, karya, dan pembaca (Tarigan, 1985: 213). Pernyataan ini bermakna bahwa Tarigan tidak membatasi penelitiannya pada pendekatan psikologis masalah genetik, tetapi juga pada sastra sebagai karya itu sendiri, aspek psikologis dan pengaruh karya sastra pada kejiwaan sang pembaca. Pernyataan Tarigan ini sejalan dengan Rene Wellek dan Austin Warren (1962: 81) yang menyatakan bahwa terdapat empat aspek penelitian psikologi dalam keilmuan sastra, yaitu (1) keilmuan psikologis terhadap pengarang sebagai tipe dan pengarang sebagai individu, (2) keilmuan mengenai proses kreativitas, (3) keilmuan mengenai tipe dan hukum-hukum karya sastra, dan (4) keilmuan mengenai pengaruh karya sastra terhadap kejiwaan pembacanya. Kajian psikologi dalam studi sastra yang mengarah pada proses kreatif, dan studi tentang aspek psikologis pengarang adalah studi psikologis yang menekankan pada sisi pengarang sebagai penghasil karya sastra.

Psikologi pengarang merupakan salah satu wilayah psikologi kesenian yang membahas tentang aspek kejiwaan pengarang sebagai suatu tipe maupun sebagai seorang pribadi (Wellek & Werren, 1990: 90) dalam (Nurjannah, 2011: 5). Dalam kajian ini, yang menjadi focusnya adalah aspek kejiwaan pengarang yang memiliki hubungan dengan proses lahirnya karya sastra.

Dalam penelitian ini, terdapat tiga cara dalam menelaah karya sastra. Pertama, mempelajari karya sastra seorang pengarang. Kemudian, dari karya-karya sastra yang dipelajari tersebut, dapat diatarik kesimpulan tentang keadaan kejiwaan pengarang (psikologis pengarang). Kedua, peneliti sastra mempelajari riwayat hidup atau latar belakang pengarang melalui tulisan-tulisan hasil tangan pengarang tersebut. Ketiga, peneliti sastra dapat beralih antara pengetahuan tentang kisah hidup pengarang dan aspek psikologis dari karya sastra yang dipelajarinya. Dengan cara ini, peneliti dapat memanfaatkan pengetahuan tentang riwayat hidup pengarang dan keadaan sosial, budaya pada saat karya sastra tersebut ditulis. Hal-hal yang dipandang memiliki arti dalam riwayat hidup si pengarang dapat dimanfaatkan untuk menyoroti aspek kejiwaan dalam karyanya. Dan sebaliknya, bagian yang dipandang memiliki arti dalam karya sastra dapat digunakan untuk menafsirkan aspek kejiwaan si pengarang. Dalam artikel ini, penulis memulai dari latar belakang atau riwayat hidup si pengarang.

Metode

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Pemilihan penggunaan metode ini dalam penelitian sastra karena data yang akan diolah berupa kata-kata, kalimat-kalimat, ungkapan ataupun paragraf-paragraf. Dalam kajian ini, penulis menggunakan pendekatan psikologi yang memanfaatkan teori psikologi yakni memulai dari menyoroti latar belakang hidup si pengarang. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik baca dan teknik pencatatan.

Hasil dan Pembahasan

Artikel ini membahas tentang aspek psikologis pengarang yang mencakup latar belakang pengarang atau riwayat hidup pengarang. Hal ini memberikan dampak psikologis yang kuat bagi pengarang di dalam menciptakan suatu karya sastra lawas. Untuk itu peneliti bermula dengan mempelajari riwayat hidup sang pengarang. Hal ini dapat dilakukan dengan mempelajari tulisan-tulisan pengarang berkenaan dengan karya-karya yang diciptakannya, berbagai hal yang menyangkut keyakinan pengarang serta peristiwa-peristiwa penting yang pernah dialami si pengarang.

Latar Belakang Pengarang

H. Dinullah Rayes merupakan seorang sastrawan (pengarang) yang lahir di Desa Kalabeso, pada tanggal 7 Februari 1939. Desa Kalabeso merupakan salah satu desa yang berada di Kecamatan Buer, Kabupaten Sumbawa, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat. Ayahnya bernama Haji Lalu Muhiddin Rayes dan ibunya bernama Ringgi. Dinullah Rayes menikah dengan gadis sekampungnya, yaitu Siti Aisyah, pada tanggal 15 Oktober 1958.
Dinullah Rayes merupakan sosok sastrawan religius yang dalam setiap puisi-puisinya sangat lazim dengan nilai-nilai ilahiyahnya. Hal tersebut terlihat dari berbagai karyanya. Segala pengalaman dalam hidup yang diperolehnya, akan disusun, diolah menjadi biji-biji mutiara kata-kata. Dinullah Rayes mencoba menyelami kepribadiannya melalui luasan samudera puisi-puisinya sehingga ketika siapapun yang membacanya akan sampai pada puncak penghayatan bahwa sebenarnya Dinullah Rayes adalah sosok yang sangat taat menjalankan agamanya dan begitu dekat dengan tuhannya, serta berusaha memberikan peljaran religius kepada para pembacanya.

Dinullah Rayes menempuh Pendidikan sekolah rakyat (SD) selama 6 tahun dan lulus tahun 1950 lalu melanjutkannya ke Sekolah Guru Bantu (SGB) selama 4 tahun di Sumbawa Besar, dan lulus tahun 1954. Meskipun tidak menempuh pendidikan universitas, semangat belajarnya tetap tinggi. Ia memilih belajar secara autodidak untuk mempelajari berbagai ilmu kebudayaan.

Sebelum beliau terjun menjadi penulis, ia pernah bertugas sebagai seorang guru SD pada tahun 1956-1965. Kemudian beralih tugas ke Kabin Kebudayaan Kab. Sumbawa, Sumbawa Besar, Nusa Tenggara Barat hingga tahun 1994, dan untuk selanjutnya beliau dipercayakan sebagai Kasi Kebudayaan Kandep Dikbud Kab. Sumbawa, Nusa Tenggara Barat.
Dinullah Rayes lebih sering menggunakan nama samarannya, yaitu Din Rayes atau Dinurrayes dalam berbagai karyanya. Beliau aktif menulis sejak tahun 1956. Hingga kini Dinullah bekerja dan menetap di kota kelahirannya.

Selain menulis puisi, beliau juga menulis cerpen, esei, naskah drama, artikel kesenian/kebudayaan. Tulisannya tersebar diberbagai media massa, diantaranya; Abadi, Pelita, Suara Karya, Panji Masyarakat, Salemba, Tifa Sastra, Seloka, Sarinah, Suara Muhamadiyah, Harmonis, Amanah, Sinar Harapan, Forum, Tribun, Swadesi, Republika, Bali Post, Nusa Tenggara, Suara Nusa, Dewan Sastra Malaysia.

Putra pasangan Hj Ringgi dan H. lalu Muhidin Rayes (seorang ulama penyusun khutbah) ini juga di kenal sebagai pelestari seni dan tradisi Samawa (Sumbawa). Hal tersebut di wujudkannya dengan membangun sebuah rumah panggung di Desa Kalabeso, Kecamatan Buer, sekitar 60 kilometer barat Sumbawa Besar, ibu kota Kabupaten Sumbawa. Rumah berarsitektur Samawa itu menjadi tempat pertemuan orang muda dan para seniman untuk berlatih seni tari, seni lawas (pantun), seni tabuh, dan kesenian Samawa lainnya. Setiap bidang kesenian itu punya pelatih yang juga rekan dan tetangganya.

Ia juga membeli seperangkat alat musik tradisional, seperti rebana, beduk, dan lainnya, untuk berlatih 30 orang muda desa itu yang umumnya lulusan  SMP dan SMA. Anak asuhnya tersebut yang tergabung dalam Sanggar Seni Budaya Ringgi. Rumah panggung itu juga disiapkan untuk para sahabatnya yang ingin menginap, terutama rekan seniman dan peneliti dari dalam dan luar negeri yang mau mendalami budaya Samawa.

Dinullah Rayes adalah sosok sastrawan yang sangat produktif. Kepedulian terhadap seni tradisional itu merupakan jawaban dari kegelisahannya atas realitas sosial yang semakin menjauh dari nilai-nilai budaya yang menjadi akar keberadaan bangsa. Penguasaannya pada nilai-nilai kearifan lokal membuat kalangan seniman menjulukinnya pengemban ‘Nurani Tau Samawa’. Ia juga merintis berdirinya Museum Daerah Kabupaten Sumbawa, sekaligus penyair yang dikenal luas tak hanya di Nusa Tenggara Barat. Aktifitasnya itu didukung pula oleh kegemaran dirinya yang kerap berkeliling kampung. Ia merekam berbagai fenomena sosial, berdialog dan bertanya kepada kalangan toa loka (orang tua) seputar adat istiadat Samawa dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Bertanya dan menimba ilmu baginya adalah suatu ibadah.
Kebiasannya ‘mengembara’ tetap ia lakukan walau usianya tak lagi muda. Ia nyaris tidak pernah absen menghadiri pertemuan sastra diberbagai daerah. Pria yang pada awal 2007 lalu mengalami peristiwa kebakaran pada rumahnya dan menghanguskan ribuan karya puisinya tersebut, juga berkelana sampai ke negeri jiran. Bulan November 2000 lalu, ia pergi ke Malaysia memenuhi undangan Tan Sri Ismail Husein, Ketua Gabungan Persatuan Penulis Nasional Malaysia (Gapena), yang mengundangnya menghadiri diskusi sastra dan Hari Puisi VI di Langkawi.
Waktu 24 jam sehari seakan kurang bagi dirinya untuk memenuhi hasratnya mengumpulkan adat istiadat Samawa, menemui teman sejawat, serta juga tetap aktif menulis sajak dan cerpen. Sejak sekitar tahun 1956, ia juga tidak pernah memutuskan komunikasi dengan para rekannya. Semua hasil dialog dan pengalaman empirisnya tersebut, lalu kemudian ia rajut melalui bait-bait puisi. Dalam proses kreatifnya, ia tidak segan-segan membangunkan istrinya, Siti Aisyah, di tengah malam yang sedang terlelap tidur, hanya untuk menyimak dan menikmati bait puisi yang tengah dirangkainya.

Untuk urusan puisi, ia seakan tak pernah merasa lelah, apalagi bosan. Ia selalu siap membaca puisi, baik dalam forum maupun tidak resmi. Awal Februari 2005, misalnya, ia membacakan puisi karyanya pada acara pengukuhan seorang karibnya sebagai guru besar di Universitas Mataram. Menurut ayah dua anak ini,  membaca puisi dalam forum resmi perlu dilakukan agar para cerdik cendekia pun tidak sekadar mendengar, melainkan juga menyimak pesan yang disampaikan lewat puisi. Karena peran aktifnya yang besar sebagai penulis, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Dewan Kesenian Sumbawa dan Ketua Lembaga Adat Tana Samawa ini, pernah meraih beberapa penghargaan antara lain, mendapat penghargaan 10 Besar Terbaik Lomba Cipta Puisi â€˜Iqra’ 1992 Tingkat Nasional, Penghargaan 10 Karya Puisi Terbaik, Nominator Borobudur Award 1997 dan Piagam Hadiah Seni, Lencana dari Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.

Simpulan

Dapat disimpulkan bahwa aspek psikologis pengarang yang mencakup latar belakang pengarang berpengaruh secara psikologis terhadap pengarang dan para pembacanya. Hal itu tampak pada puisi-puisi karya ciptaan Dinullah Rayes, dan Kritik-kritik pembaca dalam menilai Dinullah Rayes.

Kepedulian Dinullah Rayes terhadap seni tradisional merupakan jawaban dari kegelisahannya atas realitas sosial yang semakin menjauh dari nilai-nilai budaya yang menjadi akar keberadaan bangsa. Penguasaannya pada nilai-nilai kearifan lokal membuat ia dijuluki sebagai pengemban ‘Nurani Tau Samawa’. Beliau memiliki kebiasaan berkeliling kampung. Ia merekam berbagai fenomena sosial, berdialog dan bertanya kepada kalangan orang tua seputar adat istiadat Samawa dan nilai-nilai yang terkandung didalamnya. Bertanya dan menimba ilmu baginya adalah suatu ibadah.

Daftar Pustaka

Tarigan, Henry Guntur. 1985. Prinsip-prinsip Dasar Sastra. Bandung: Angkasa.
Wellek, Rene dan Austin Warren. 1965. Theory of Literature. New York: Harcourt, Brace & World, Inc.
Rayes, Dinullah. 2014. Akar Religi dari Pohon Cinta. Yogyakarta:Ombak
Saputro, Muhammad Angga. 2020. Pemahaan Perkembangan Teori Sastra. Jawa Tengah: Lakeisha
Minderop, Alberrtine. 2010. Psikologi Sastra. Jakarta: Buku Obor
Basuki, I. (2015). Aspek Psikologis Pengarang dan Pengaruhnya Terhadap Perwatakan Tokoh Utama Novel Lady Chatterlay’s Lover Karya David Herbert Lawrence: Literasi, 5(2), hlm. 127-138.

Related Articles

Back to top button