BudayaOpiniPeristiwa

Delapan Tahun Geliat Kegiatan Perfilman Komunitas di Sumbawa (2): Generasi Baru dan Embrio Perfilman Sumbawa

Oleh Yuli Andari Merdikaningtyas
Pegiat Komunitas Sumbawa Cinema Society (SCS) dan ketua Yayasan Masyarakat Film Sumbawa (YMFS)

Pasca Reformasi, geliat perfilman Indonesia terus bertumbuh. Setelah menjadi salah satu sutradara dalam omnibus Kuldesak, Riri Riza memproduksi Petualangan Sherina tahun 2000. Film ini seolah mengobati kerinduan penonton akan bioskop. Dua tahun kemudian, Rudi Sujarwo menyutradarai film Ada Apa Dengan Cinta yang juga membawa suasana ruang tonton mulai bergeliat. Gairah perfilman Indonesia tidak hanya sebatas pada film cerita namun juga film dokumenter. Tahun 2002, Festival Film Dokumenter di Yogyakarta seolah menyuarakan ekspresi pembuat film dokumenter dalam mengkritisi kondisi sekitarnya. Festival ini berskala nasional dan memutar berbagai ragam cara bertutur film dokumenter. Kini, dalam perkembangannya, FFD menjadi festival berskala internasional yang tetap eksis hingga saat ini.

Tidak hanya di ruang tonton, kebutuhan untuk peduli pada kualitas film Indonesia perlahan-lahan menjadi kebutuhan para sineas. Beberapa kompetisi penulisan cerita dilakukan, baik di dunia fiksi maupun dokumenter. Kompetisi pengembangan naskah film cerita maupun dokumenter dilakukan oleh Jakarta International Film Festival (JIFFEST) pada tahun 2005. Di tahun yang sama, ada ajang Eagle Award Documentary Competition (EADC) yang diselengarakan oleh In-Docs dan Metro TV yang mewadahi pembuat film dokumenter pemula di tanah air. Dari ajang inilah film dokumenter “Joki Kecil” yang disutradarai oleh Yuli Andari dan Anton Susilo lahir. Film ini mengangkat tema tentang pacuan kuda Sumbawa, terutama berfokus pada joki kecil pacuan kuda. Meski mewakili Yogyakarta karena pernah mengenyam pendidikan formal di UGM, Yuli Andari mengangkat cerita tentang sebuah tradisi ratusan tahun yang telah berurat akar di tanah kelahirannya yaitu Maen Jaran (Pacuan Kuda khas Sumbawa). Film ini memenangkan Eagle Awards dengan predikat Film Terbaik dan Film Favorit Penonton sekaligus.

Setelah itu, beberapa karya dokumenter hasil kolaborasi Yuli Andari dan Anton Susilo yang mengangkat tema tentang Sumbawa dan NTB lahir, antara lain: Bulan Sabit di Tengah Laut (2007), Satu Harapan (2009), Cita-Citaku (2010), dan Kembalinya Sang Sultan (2011). Semua karya ini dikerjakan oleh Benang Merah Production, perusahaan film yang digawangi oleh keduanya. Meski, masih menetap di Yogyakarta, film-film tentang Sumbawa ini kerap diputar kepada publik baik disertai diskusi maupun hanya nonton bareng semata. Karena tidak adanya bioskop film-film ini kerap diputar di gedung pemerintah, bekerja sama dengan Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Sumbawa maupun Kabupaten Sumbawa Barat.

Rata-rata jumlah penonton di atas 500 orang per film. Bahkan saat pemutaran film Cita-Citaku yang diselenggarakan di tiga kota yaitu Mataram, Taliwang, dan Mataram, jumlah penonton mencapat 2000 orang. Begitu pula dengan film Kembalinya Sang Sultan, penonton mencapai 2300 orang baik yang dilakukan di Aula Kantor Bupati maupun nonton layar tancap. Tahun 2013, Yuli Andari memutuskan untuk pulang kampung. Setahun awal di Sumbawa, ia kembali berkolaborasi dengan Anton Susilo yang juga merupakan suaminya, untuk produksi film dokumenter Menari di Atas Ombak (2014), dan Sekolah di Tepi Arena (2015) yang keduanya didanai dan ditayangkan oleh METRO TV.

Geliat Kegiatan Perfilman Berbasis Komunitas: Apresiasi, Produksi, dan Jejaring.

Pada tahun 2014, Sumbawa Cinema Society (SCS) sebuah komunitas film terbentuk di Sumbawa. Komunitas ini digawangi oleh beberapa anak muda dengan berbagai latar belakang: pembuat film (sutradara dan produser film pendek non-industri), seniman visual, guru seni, dosen, dan pegawai swasta. Komunitas in.i memiliki tujuan untuk mengakrabkan film kepada masyarakat Sumbawa sebagai media untuk belajar dan melihat kondisi sekitar. SCS memiliki tiga program utama yaitu Apresiasi Film, Produksi Film, dan Membangun Jejaring Film.

Sebagai langkah awal dilakukan pemutaran film bertema pendidikan kepada publik pada tanggal 26 Juli 2014 di YAE Futsal, Desa Jorok. Pemutaran ini sekaligus menjadi momen yang dijadikan hari lahir SCS. Penonton yang hadir pada saat itu sekitar 15-20 orang, cukup banyak untuk sebuah pemutaran perdana. Tahun 2015, SCS mulai menjalankan program pengembangan SDM dengan mengikuti kompetisi produksi film pendek yang diadakan oleh ACFFest. Selain kompetisi, pada tahun 2015 juga diadakan workshop film bertema anti korupsi. Acara ini sekaligus menjadi ajang kolaborasi awal SCS dengan organiser acara perfilman dari Jakarta.

Di tahun yang sama, setidaknya terdapat dua produksi film yang dilakukan oleh SCS. Melalui kompetisi ide cerita, isu lokal mulai diangkat. Isu buruh migran yang menjadi wacana populer di NTB, termasuk Sumbawa menginspirasi film Menya(M)bung Nasib Di Negeri Orang karya Anton Susilo tahun 2015. Film ini merupakan film fiksi pendek yang diproduksi oleh SCS atas dukungan dana dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melalu program Anti-Corruption Film Festival (AcFFest). Film fiksi pendek berikutnya berjudul Jon karya Reny Suci. Film ini bercerita tentang kehidupan sehari-hari para peternak di Sumbawa. Kedua isu lokal ini menjadi awal mula kebangkitan film lokal Sumbawa yang dimotori oleh komunitas film.

Hingga usia SCS menjelang delapan tahun terdapat beberapa film pendek yang dihasilkannya yaitu: Menya(M)bung Nasib Di Negeri Orang (2015) karya Anton Susilo; Jon (2015) karya Reny Suci; Elegi Bala’ Puti (2018) karya Yuli Andari Merdikaningtyas; Dimana Nurani (2020) karya Anton Susilo; dan Jastip (2020) karya Reny Suci. Selain itu, terdapat dua film dokumenter karya kolaborasi SCS dengan program Virtual Reality FFD Yogya. Selain Apresiasi dan Produksi Film, mulai tahun 2019, SCS melahirkan sebuah festival film Sumbawa yang mengangkat tema tentang Warna Keberagaman. Festival film ini diawali dengan acara coaching clinic yang diikuti oleh anak muda Sumbawa.

Komunitas SCS hadir di Sumbawa perlahan-lahan ingin membangun ekosistem perfilman yang ada di Sumbawa. Sehingga berbagai lini dari ekosistem perfilman dibenahi antara lain apresiasi, produksi, distribusi, ekshibisi, edukasi, dan arsip. SCS hadir untuk menciptakan sebuah ekosistem yang kecil namun solid untuk tujuan pemajuan kebudayaan lokal melalui film.

Merayakan Sinema Melalui Festival Film Sumbawa

Tepat lima tahun setelah SCS berdiri, tahun 2019, SCS mulai menginisiasi sebuah festival film yang menyasar anak muda kreatif baik dari kalangan SMA maupun mahasiswa. Untuk kompetisi ide cerita, pelajar dari SMA/SMK/MA menjadi sasaran Festival Film Sumbawa (FFS). Dengan didukung oleh Dewan Kesenian Kabupaten Sumbawa (DKS), festival film membuka pendaftaran bagi ide cerita. Melalui festival ini, setidaknya ada 8 film yang diproduksi yaitu Pelita Kebhinekaan (SMAK St. Gregorius), Aku dan Mereka (SMKN 1 Sumbawa), Harmoni Bertetangga (SMAN 2 Sumbawa), Tanjung Harapan (SMAK St. Gregorius), 1:5 Masihkah Perbedaan Itu Penting? (SMAN 3 Sumbawa), The Difference (SMKN 1 Sumbawa), Seribu Kaki Satu Langkah (SMAK St. Gregorius), dan Aku Bisa (SMKN 3 Sumbawa).

Tahun 2020, dalam suasana pandemi, FFS#2: Melestarikan Budaya Sumbawa Di Tengah Pandemi COVID-19 terselenggara berkat dukungan DKS dan Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Regional Bali, NTB, dan NTT. Kompetisi film dilakukan dengan cara beradaptasi dengan suasana pandemi yaitu dengan menggunakan metode hybrid. Pengembangan cerita peserta dilakukan secara daring via Zoom Meeting dengan pembicara Tonny Trimarsanto. Karena ketatnya pemberlakukan social distancing maka kompetisi film yang dibuka hanya kompetisi film dokumenter pendek untuk pelajar. Namun meski demikian, animo masyarakat tetap tinggi ditandai dengan keikutsertaan dalam lomba maupun dukungan kepada teman-teman mereka. Dari Festival ini dihasilkan 13 (tiga belas) karya dokumenter pelajar dengan 8 (delapan) karya dokumenter yang dinyatakan memenangkan Mangkar Awards.

Di tahun ketiga, FFS#3 bertajuk Perempuan, Alam, dan Ketahanan Budaya berlangsung masih di tengah suasana pandemi. Penyiasatan sistem hibrid menjadi salah satu yang diterapkan. Kompetisi ide cerita kembali dibuka untuk mahasiswa dan alumni FFS, paralel dengan kompetisi film dokumenter pelajar. Dari festival ini dihasilkan tiga film pendek hasil kompetisi yaitu Selembar Kertas (Harsa Perdana), Mengalir (Tiara Dwi Aryanti), dan Baseme (Indri Ardianti). Sedangkan untuk kompetisi film pelajar ada empat karya yang memenangkan Mangkar Awards.

Road To FFS#4: Budaya Lokal dan Perubahan Iklim

Penyelenggaraan FFS tahun ini akan diselenggarakan dengan tema: Budaya Lokal dan Perubahan Iklim. Tema ini diangkat dengan tujuan merayakan terpilihnya Sumbawa sebagai Ibukota Kebudayaan dengan Kategori Biosfer dan Perubahan Iklim oleh Jaringan Kota Pusaka Indonesia (JKPI).

Film merupakan medium yang memiliki kekuatan dalam menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pihak terkait. Begitu pula sebagai alat cerminan untuk melihat kembali atau mengkritisi langkah-langkah pemerintah terutama dalam hal kebijakan yang turut berkontribusi pada degradasi lingkungan maupun perubahan iklim. Selain itu, melalui film apa yang telah dilakukan oleh daerah juga bisa dipertontonkan misalnya upaya pengentasan stunting, peningkatan destinasi wisata sejarah budaya, dan sebagainya.

Alhamdulillah, tahun ini Pemerintah Kabupaten Sumbawa seperti yang disampaikan oleh Bapak Bupati H. Mahmud Abdullah berkomitmen untuk mendukung FFS#4: Budaya Lokal dan Perubahan Iklim. Semoga dengan adanya dukungan pemerintah daerah, kegiatan perfilman di Sumbawa semakin maju. Jayalah film Sumbawa, jayalah film Indonesia.


Pengantar diskusi “Jejak Langkah Film Lokal Sumbawa”, tanggal 1 April 2022 di Studio SCS – Kronik Sumbawa dalam Perayaan Hari Film Nasional Ke-72.

FokusNTB

Pengelola menerima semua informasi tentang Nusa Tenggara Barat. Teks, foto, video, opini atau apa saja yang bisa dibagi kepada warga. Untuk berkirim informasi silakan email ke fokusntb@gmail.com

Related Articles

Back to top button