Sumbawa Besar, Fokus NTB – Memperingati Hari Buruh tepatnya tanggal 1 Mei 2021, yang sering kita dengar sebagai Mayday, Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI) Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Provinsi Nusa Tenggara Barat ( NTB )Turun Aksi menyuarakan tolak UU Cipta Kerja (Omnibuslaw) , Sabtu (1/5)
Ketua DPW FSPMI Provinsi NTB Fauzan A. Md dalam orasinya menyampaikan hukum ketenagakerjaan harus mengandung prinsip kepastian pekerjaan, kepastian pendapatan dan kepastian Jaminan Sosial, namun sangat disayangkan didalam UU Cipta Kerja yang disahkan oleh pemerintah dinilai tidak tercermin prinsip tersebut.
Ketua FSPMI Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Nusa Tenggara Barat (NTB) Fauzan, Amd. meminta agar dalam hari buruh ini pemerintah juga harus memperhatikan jaminan para pekerja, liburkan buruh dengan upah dan Tunjangan Hari Raya (THR) penuh, serta naikkan upah buruh.
Fauzan menyampaikan, agar pemerintah bisa memastikan dan mengambil langkah – langkah yang kongkrit untuk mengantisipasi agar bagi pekerja juga mendapatkan perlindungan dan haknya sebagai pekerja.
Dalam orasi koordinator Lapangan Usman didepan kantor Bupati Sumbawa, membacakan selebaran yang dibagikan setiap pengguna jalan melintas di aksi tersebut, dalam tulisan yang dibaca lantang oleh korlap aksi Usman menyuarakan, CABUT OMNIBUSLAW merupakan gabungan dari beberapa hukum atau undang – undang untuk menyederhanakan Undang sebelumnya. Dalam hal ini Omnibuslaw salah satunya berbicara Klaster ketenagakerjaan dari 11 klaster yang diundangkan dalam Undang – undanf Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Cipta Kerja) yang sudah ditandatangani oleh Presiden Jokowi. Dengan demikian, UU ini sudah menjadi hukum positif yang berlaku di Indonesia. Terangnya
Lanjut Usman meskipun sudah diundangkan, tetapi sejumlah pihak masih saja melakukan penolakan, termasuk FPSMI. Penolakan tersebut terlihat dari aksi – aksi oleh berbagai elemen masyarakat, seperti yang kami lakukan saat ini, khususnya kaum buruh, yang terjadi di berbagai daerah, termasuk kabupaten Sumbawa, terangnya.
Perlu diketahui penolakan terhadap UU Cipta Kerja bukan tidak mendasar, artinya terjadi penolakan dinilai mendegrasikan hak – hak pekerja atau buruh. Melalui setiap kajian yang kami lakukan sejak munculnya RUU Cipta Kerja sampai dengan sudah disahkannya menjadi UU No 11 tahun 2020 saat ini. Bahwa kehadiran UU Cipta Kerja seperti malapetaka bagi kaum buruh.
“Hasil kajian kami atau catatan kritis dari kami FSPMI meliputi yaitu SATGAS Ombibuslaw tanpa melibatkan perwakilan buruh, disisi lain DPR terkesan terburu – buru mengesahkan UU Cipta Kerja,” teriaknya.
Lanjut Usman bahwa berbagai kejanggalan yang terdapat dalam UU Cipta Kerja, seperti di klaster ketenagakerjaan ditemukan redaksi pasal berubah, dari undang – undang sebelumnya di UU No. 13 Tahun 2003, yang merugikan buruh. Selain itu, ada beberapa hal luar biasa Pasal dalam UU Cipta Kerja, yang menunjukkan proses pembuatannya menunjukkan kesemrawutannya. Misalnya, relasi pasal 5 dan 6 dalam UU Cipta Kerja, merajut pada pasal 5 ayat 1 huruf a, namun pada pasal 5 tidak terdapat ayat atau huruf. Kesalahan fatal lain terdapat dalam pasal 1 soal ketentuan umum yang memberikan makna isi materi muatan pasal – pasal dibawahnya. Didalam pasal 1, pengertian minyak dan gas bumi adalah minyak bumi dan gas bumi. Yang mengganjal lainnya adalah pasal 175 yang mengubah pasal 53 UU Administrasi Negara. Sama seperti pasal 6, pasal 175 adalah salah rujukan, terang Usman.
Disamping itu lanjut Usman, terdapat penyalahgunaan pemagangan berpotensi semakin besar, perseoalan terkait lembaga pelaksana penempatan tenaga kerja, TKA tidak memiliki keterampilan berpotensi masuk ke Indonesia. Hilangnya ketentuan yang mengatur PKWT tidak tertulis menjadi PKWTT. Batasan waktu Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) hilang. Penyebab berakhirnya perjanjian kerja semakin banyak. Tidak semua buruh kontrak yang diberhentikan mendapatkan kompensasi. Pemborongan pekerjaan tidak ada lagi batasan, waktu kerja lembur menjadi lebih lama.
Usman juga menambahan belum lagi masalah outsourcing bebas disemua jenis pekerjaan. Jauh disitu lebih parahnya lagi waktu kerja fleksibel. Cuti besar berpotensi hilang, disusul UMSK hilang. Gubernur hanya wajib menetapkan UMP, dan UMK bersyarat. Pun dengan komponen untuk menentukan struktur dan skala upah berkurang. Hak buruh bukan lagi yang didahulukan saat perusahaan pailit, PHK semakin mudah dilakukan. Nilai pesangon dikurangi, jaminan kehilangan pekerjaan bersifat disktiminatif dan berbagai sangsi pidana dihapus.
“Inilah kemudian dasar kita kenapa harus Cabut Omnibuslaw guna menyelamatkan nasib Buruh sebagai jantung ekonomi Negara,” kata Usman.
Perlu diketahui aksi FPSMI dikawal ketat oleh pihak Polres Sumbawa, tetap mengedepankan protokol kesehatan Covid -19, setelah menyampaikan orasinya massa Aksi FPSMI membubarkan diri kembali ke sekretariatnya.