Aliansi Buruh Untuk Rakyat Peringati Hari Buruh Internasional, Turun Aksi Desak Pemerintah Cabut UU Omnibuslaw Cipta Kerja
Sumbawa Besar, Fokus NTB – Aliansi Buruh untuk Rakyat gelar aksi untuk peringati hari buruh, Sabtu (1/5). Aksi yang diikuti puluhan orang ini dikawal Polres Sumbawa dan Satpol Sumbawa sesuai prokes kesehatan.
Hadiatul Hasana, dari Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa menyampaikan bahwa, praktik-praktik janggal yang dipertontokan elit politik kita semakin mempertegas bahwa orientasi utama Omnibus Law memang short term perspective hanya untuk mencari rent seeking. UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja suda cacat sejak kelahirannya. Terbukti sejak disahkan nya UU ini (Omnibus Law) pada Bulan Oktober 2020 lalu telah menghantam situasi buruh baik pemberangusan serikat maupun status pekerja yang tidak jelas, PHK yang sesuka-suka pengusaha dengan alasan produksi yang menurun dimasa pandemi. Peraturunan turunan dari UU Cipta Kerja sesungguhnya menaburkan penderitaan bagi kelas pekerja/buruh.
Kemudian aturan yang dikeluarkan PP Nomor 37 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP). JKP adalah jaminan sosial yang diberikan kepada pekerja/buruh yang mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK). Di dalamnya terdapat manfaat uang tunai. Dijelaskan dalam pasal 21 ayat 1, manfaat uang tunai diberikan setiap bulan paling banyak 6 bulan upah sebesar 45% dari upah untuk 3 bulan pertama, dan sebesar 25% dari upah untuk 3 bulan berikutnya. Perjanjian Kerja untuk Waktu Tertentu (PKWT) atau Pekerja Kontrak yakni selama lima tahun. Batas waktu tersebut lebih lama dibandingkan ketentuan sebelumnya yang diatur di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yakni paling lama tiga tahun.
Di NTB telah terjadi PHK sebanyak 598 orang dan 3.014 orang dirumahkan pada September 2020, ribuan buruh kehilangan pekerjaannya sehingga angka pengangguran di NTB khususnya di Sumbawa semakin meningkat. Hal ini tidak terlepas dari lemahnya pemerintah dalam mengatasi Covid – 19 dan minimnya lapangan pekerjaan. Sehingga banyak perempuan berumah tangga terpaksa harus berangkat ke luar negeri untuk menjadi buruh migran. Solusi mencari pekerjaan ke luar negeri justru menjadi persoalan bagi buruh migran karena tidak diberikan upah yang layak serta marak terjadi pelanggaran hak dalam bekerja.
Data Solidaritas Perempuan (SP) Sumbawa menunjukkan terjadinya kekerasan berlapis yang dialami perempuan Pekerja Migran Indonesia (PMI). Dari 56 pengaduan kasus yang dilaporkan, terdapat beragam bentuk kasus yang dialami; beberapa diantaranya yaitu gaji tidak dibayar, over kontrak, indikasi trafficking, hukum pancung, pelanggaran kontrak kerja dan pemberangkatan secara unprosedural (ilegal). Penanganan kasus yang dilakukan juga memperlihatkan bahwa korban trafficking pada umumnya juga mengalami berbagai bentuk kekerasan lainnya, seperti kekerasan fisik dan penahanan dokumen.
Selain disektor buruh migran, ada situasi ketidakadilan yang dialami oleh beberapa buruh toko yang belum mendapatkan upah layak serta jam kerja yang sesuai. Bahkan buruh toko ada yang mendapatkan upah dibawah 1 JT, hal ini tentu jauh dari UMK dan UMR Kabupaten Sumbawa, tambahnya Hadiatul Hasana.
Berdasarkan situasi diatas, Aliansi Buruh untuk Rakyat mendesak pemerintah untuk Cabut UU Omnibuslaw Cipta Kerja dan seluruh aturan turunannya, serta fokus pada penanganan krisis diberbagai sektor, kemudian Cabut Perda No 8 Tahun 2015 Tentang PPTKILN, juga (3) wujudkan UU Perlindungan Buruh, (4) Hentikan represifitas gerakan rakyat, (5)
Pendidikan gratis dan kesehatan gratis untuk rakyat, (6) Tetapkan upah layak nasional, (7) Bayar THR tanpa cicilan, dan (8) Tetapkan upah minimum skala kota/Kabupaten.