
Sumbawa Besar, Fokus NTB – Harga Pupuk Bersubsidi di Kabupaten Sumbawa Melonjak Melebihi HET, Apa masalahnya ?
Selain penghasil rempah-rempah, Indonesia merupakan salah satu negara penghasil pangan terbesar di dunia. Sebelum Indonesia merdeka, Koloni Belanda pernah memijakkan diri di bumi Indonesia, yang saat itu masih bernama Nusantara. Kedatangan Belanda dengan bentuk kongsi dagang bernama Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC). VOC adalah persekutuan dagang yang memiliki monopoli untuk aktivitas perdagangan di Asia. Kurang lebih 350 tahun lamanya Belanda mengeksploitasi Sumber Daya yang ada di Indonesia.
Bukan hanya rempah-rempah yang menjadi sasaran bangsa asing. Pangan adalah termasuk incaran pokok bagi bangsa asing. Lalu bagaimana keadaan ketahanan pangan di Indonesia, Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat khususnya. Berbicara ketahanan pangan tentu tidak lepas dari kebutuhan penunjang pertanian. Misalnya Air, Pupuk, Pestisida, bibit, juga bidang lahan pastinya. Untuk kali ini akan membahas lebih spesifik yaitu pupuk.
Pupuk adalah salah satu hal sangat penting bagi gizi tanaman. Untuk mendukung suksesnya pertanian guna mendapatkan hasil panen yang melimpah serta berkualitas, pemerintah telah menyediakan pupuk bersubsidi. Adanya pupuk bersubsidi adalah langkah pemerintah untuk meringankan petani memenuhi kebutuhan pupuk bagi tanamannya. Untuk peraturan perundang-undangan yang mengatur jumlah alokasi dan HET pupuk bersubsidi, terakhir kalinya diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2021. Sedangkan Peraturan Perundang-undangan yang mengatur tentang proses distribusinya diatur dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 15 Tahun 2013.
Di Kabupaten Sumbawa, kaitannya dengan pupuk bersubsidi, diatur dalam Peraturan Bupati Sumbawa Nomor 16 Tahun 2012. Ada banyak masalah yang terjadi di lapangan. Misalnya pelanggaran yang dilakukan oleh pengecer atau kios resmi pupuk bersubsidi terhadap petani yang memiliki hak untuk mendapatkan Pupuk Bersubsidi ialah penerapan harga diatas HET.
Adapun petani yang berhak mendapatkan pupuk bersubsidi adalah petani yang sudah terdaftar dalam sistem electronik-Rencana Definitif Kebutuhan Kelompok (e-RDKK) secara berkelompok yakni kelompok tani (Poktan). Namun pada kenyataannya ternyata masih ada kelompok yang tidak akurat. Masih saja ada yang dengan satu nama/nik berada dalam dua kelompok yang berbeda.
Bukan hanya itu, terdapat juga pelanggaran lain seperti sistem jual paket. Dengan kata lain, menggandeng pupuk subsidi dan non subsidi menjadi satu paket barang yang dijual oleh pengecer seolah-olah diwajibkan. Padahal diluar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Indikator keberhasilan dari penerapan kebijakan ini adalah prinsip 6T, yakni Tepat Guna, Tepat Jumlah, Tepat Mutu, Tepat waktu, Tepat Sasaran, dan Tepat Harga.
Daulat Demokrat dalam penelitiannya yang berjudul “Analisis Kinerja Pemerintah Dalam Mengawasi Penyaluran Dan Pendistribusian Pupuk Bersubsidi”
(Studi Kasus Kabupaten Sumbawa Provinsi Nusa Tenggara Barat) menyimpulkan bahwa minimnya pengawasan mengakibatkan kepada terjadinya beberapa pelanggaran seperti yang disebutkan sebelumnya.
Daulat berpendapat, untuk memaksimalkan prinsip 6T adalah perlu ditambahkan jumlah personil dari pemerintah di bidang pertanian. Personil yang dimaksud adalah Petugas Penyuluh Lapangan (PPL). Selain penambahan personil, perlu juga diperhatikan kesejahteraan atau tunjangan bagi PPL, mengingat banyak wilayah yang memiliki geografi kesulitan untuk dijangkau oleh petugas.
Namun, masalah dari persoalan yang ada sebenarnya dikarenakan oleh kemampuan Sumber Daya yang lemah. Sumber Daya dibagi dua, yakni Sumber Daya Manusia dan Sumber Daya Finansial. Kedua sumber Daya ini saling mengaitkan satu sama lain. Terutama sumber daya finansial. Artinya peningkatan sumber daya finansial adalah tawaran solutif untuk mengatasi permasalah tentang pupuk bersubsidi.
Oleh: Nabila Dwi Handani, Program Studi Ilmu Administrasi Negara, Semester ll (Dua), Mata Kuliah Bahasa Indonesia, Universitas Samawa (UNSA).