Opini

Pemekaran Pulau Sumbawa: Aspirasi Lama yang Kini Menunggu Ketukan Sejarah

Sumbawa, FOKUS NTB – Pulau Sumbawa kini berdiri di persimpangan sejarah. Aspirasi untuk menjadi provinsi sendiri—Provinsi Pulau Sumbawa (PPS)—bukanlah gagasan baru, melainkan suara lama yang tak kunjung datang. Sudah lebih dari dua dekade, masyarakat di lima wilayah—Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima—mengumumkan keinginan untuk berdiri sejajar dalam peta administratif Indonesia. Pertanyaannya kini: sampai kapan aspirasi ini harus terus menunggu?

Wacana pemekaran PPS bukan sekadar narasi lokal. Ia telah menjalar ke ruang nasional. Tokoh seperti Fahri Hamzah secara terbuka menyatakan bahwa proses ini tinggal menunggu momentum politik yang tepat. Penjabat Gubernur NTB, Lalu Gita Ariadi, pun menyebut PPS sebagai agenda lama yang semakin relevan di tengah dinamika pembangunan daerah. Namun, keputusan tertinggi tetap berada di tangan pemerintah pusat, yang masih diberlakukan moratorium pemekaran daerah dengan alasan efisiensi dan keterbatasan anggaran.

Alasan tersebut mungkin logis dari sudut pandang fiskal. Namun dari sisi keadilan pembangunan, kebijakan itu terasa timpang. Pulau Sumbawa memiliki modal yang tidak bisa diabaikan: wilayah seluas 14.442 km², jumlah penduduk lebih dari 1,5 juta jiwa, kekayaan alam yang melimpah, serta identitas budaya yang kuat. Ironisnya, semua itu selama ini berada dalam bayang-bayang dominasi Pulau Lombok, pusat pemerintahan NTB.

Lebih jauh, pemekaran bukan semata-mata soal pembentukan wilayah baru. Ia adalah instrumen desentralisasi yang bertujuan membuka akses layanan publik, mempercepat pemerataan infrastruktur, dan menciptakan ruang bagi kepemimpinan lokal. Dalam konteks Pulau Sumbawa, pemekaran berarti memperpendek jarak batas kebugaran dan memperkuat kapasitas daerah dalam menanggapi kebutuhan masyarakatnya. Sebagai pengamat yang telah lama mengikuti dinamika ini, saya meyakini bahwa pemekaran PPS bukan soal “jika”, tapi “kapan”. Pemerintah pusat perlu melihat aspirasi ini sebagai bagian dari proses demokratis yang menuntut negara hadir lebih dekat dan lebih adil. Ketika momentum itu tiba, sejarah akan mencatat bahwa perjuangan panjang ini adalah cermin dari keteguhan rakyat dalam memperjuangkan hak atas tata kelola yang lebih baik.

Pemekaran Pulau Sumbawa adalah panggilan sejarah. Dan sudah saatnya ketukan itu dijawab, bukan ditunda.

Oleh: Muhammad Ma’afi Allam, Ketua Umum IKPMSM

Related Articles

Back to top button