Strategi Transformasi Pengkaderan Berbasis Inovatif

Oleh : Immawan Amirudin
Muhammadiyah, sebagai wadah yang menaungi berbagai ortom di dalamnya, menggaungkan gerakan tajdid (pembaharuan) yang selalu disesuaikan dengan kondisi umat pada zamannya. Hal ini selaras dengan pesan bijak Ali Bin Abi Thalib, “Didiklah anak sesuai dengan zamannya, karena mereka hidup pada zamannya, bukan pada zamanmu.” Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) seharusnya lebih kreatif dan inovatif. Ini karena IMM diisi oleh generasi muda yang masih berada pada usia produktif dan memiliki pemahaman yang baik terhadap media serta informasi di zaman sekarang.
Sebagai organisasi yang bergerak di kalangan mahasiswa, IMM memiliki potensi besar untuk menciptakan perubahan yang relevan dengan perkembangan zaman. Oleh karena itu, IMM harus dapat mendorong anggota-anggotanya untuk lebih adaptif dan kreatif dalam menghadapi tantangan zaman, serta memanfaatkan media dan teknologi untuk memajukan dakwah dan kegiatan yang sejalan dengan tujuan Muhammadiyah.
Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) adalah organisasi pengkaderan yang berfokus pada pengembangan potensi akademik, mencakup tiga kompetensi utama, yaitu Intelektualitas, Religiusitas, dan Humanitas. Ketiga kompetensi ini mencakup seluruh gerakan yang dilakukan oleh kader IMM. Sudah 60 tahun IMM berdiri kokoh, mencetak ratusan bahkan ribuan kader di seluruh Indonesia, serta mendirikan cabang-cabang istimewa di berbagai negara. Hal ini menjadi bukti bahwa IMM adalah organisasi kemahasiswaan yang besar dan berpengaruh. Dengan pencapaian tersebut, sudah selayaknya strategi transformasi pengkaderan IMM terus berkembang, dengan menghadirkan inovasi dan gagasan baru, tanpa menghilangkan nilai-nilai yang terkandung dalam Sistem Kaderisasi Ikatan (SPI). Dalam hal ini, peran korps instruktur di berbagai cabang dan tingkat daerah (kabupaten/kota) sangat penting. Mereka harus memiliki inovasi dan kreativitas dalam mengelola kaderisasi, baik di tingkat Darul Arqom Dasar (DAD) maupun Darul Arqom Madya (DAM), agar proses kaderisasi tetap relevan dan efektif menghadapi tantangan zaman.
Pengkaderan adalah hal fundamental dalam organisasi, karena menghasilkan kader yang menjadi jantung organisasi dan regenerasi kepemimpinan. Di era informasi dan media sosial saat ini, generasi Z yang melek teknologi cenderung lebih individualis dan kurang produktif dalam berorganisasi. Hal ini menjadi tantangan bagi IMM dalam merekrut kader, terutama di luar Perguruan Tinggi Muhammadiyah. Oleh karena itu, dibutuhkan strategi dan inovasi baru dalam gerakan dan kaderisasi organisasi.
Lahirnya kader-kader tangguh IMM tidak terlepas dari peran instruktur sebagai laboratorium pengkaderan. Pengkaderan IMM diatur dalam Sistem Pengkaderan Ikatan (SPI), dan tanpa tim instruktur, pengkaderan tidak akan terlaksana dengan baik. Oleh karena itu, instruktur memiliki peran yang sangat vital dalam proses kaderisasi. Instruktur merupakan harapan masa depan IMM, karena keberhasilan atau kegagalan regenerasi kader menjadi tanggung jawab mereka. Instruktur juga bertanggung jawab sebagai pelopor keberlanjutan pembentukan kader sesuai dengan porsi dan ranah masing-masing, baik dalam pengkaderan utama maupun khusus.
Dalam perjalanannya, Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) tetap konsisten dalam melaksanakan perkaderan secara formal, melalui program Darul Arqam Dasar (DAD) maupun tingkat di atasnya. Namun, seolah IMM hanya berhenti pada tahap seremonial perkaderan yang berlangsung sekitar 4 hari 5 malam di perguruan tinggi Muhammadiyah dan 3 hari 4 malam di luar perguruan tinggi Muhammadiyah. Lebih dari itu, pendampingan terhadap kader perlu dimaksimalkan agar kader tetap terjaga dari segi keilmuan dan keharmonisan dalam ikatan.
Sebelum membahas strategi dan inovasi, saya ingin membahas tentang kaderisasi di tingkat DAD yang menurut saya perlu dibahas ulang dalam loka karya pengkaderan di tingkat pusat. Pertama, aturan-aturan yang menurut saya sudah tidak relevan lagi di zaman sekarang, seperti larangan penggunaan HP dan penyitaan alat pribadi. Kedua, mengenai durasi kaderisasi, perlu ada sistem zonasi karena tidak semua komisariat perlu menerapkan durasi 5 hari. Ada beberapa kasus di non-PTM, di mana calon kader merasa kesulitan dan akhirnya meninggalkan kaderisasi karena dianggap terlalu berat untuk melanjutkan program yang berlangsung selama 5 hari.
Tawaran sederhana yang ingin diajukan adalah penerapan sistem zonasi di tingkat DAD, yang dapat membedakan antara kaderisasi di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM) dan Non-PTM, baik dari segi aturan waktu maupun tempat kegiatan. Sistem zonasi ini diusulkan sebagai solusi untuk menyesuaikan kebutuhan dan kondisi psikologis calon kader, terutama bagi mereka yang berada di luar PTM. Mengingat bahwa setiap komisariat memiliki kondisi dan tantangan yang berbeda, penting untuk memberikan fleksibilitas dalam waktu dan pelaksanaan kaderisasi.
Salah satu penyesuaian yang dapat dilakukan adalah mengurangi durasi kaderisasi yang biasanya berlangsung 5 hari 4 malam menjadi 3 hari 2 malam, khususnya untuk kader Non-PTM. Dengan perubahan ini, meskipun durasi waktu lebih singkat, yang terpenting adalah tetap menjaga kualitas materi, fase, dan alur kaderisasi agar tetap tersampaikan dengan baik. Dalam hal ini, meskipun waktunya lebih pendek, isi dan substansi dari pengkaderan harus tetap optimal.
Selain itu, beberapa aturan yang selama ini dinilai memberatkan, seperti larangan penggunaan alat pribadi atau aturan yang kurang relevan dengan kondisi zaman sekarang, sebaiknya dievaluasi dan dihilangkan. Perubahan ini bertujuan untuk membuat kaderisasi lebih efektif dan dapat diterima oleh calon kader, sehingga mereka tetap termotivasi dan siap mengikuti proses perkaderan dengan penuh komitmen. Dengan sistem zonasi ini, diharapkan proses kaderisasi IMM dapat lebih inklusif, sesuai dengan kondisi dan kebutuhan setiap komisariat, serta mampu menghasilkan kader yang berkualitas.
Di tingkat Darul Arqam Madya (DAM), menurut penilaian saya, kegiatan tadabur alam seharusnya berfokus pada penanaman nilai-nilai keagamaan dan pengembangan diri, namun kenyataannya kini sering kali dijadikan ajang balas dendam antar senior dan junior. Hal ini tentu sangat bertentangan dengan tujuan utama dari proses kaderisasi Ikatan. Bahkan, berdasarkan pengalaman yang terjadi pada suatu kasus, terdapat insiden antara peserta dan instruktur yang saling baku pukul dalam kegiatan tadabur alam. Parahnya, setelah kejadian tersebut, mereka tidak saling sapa bahkan selama bertahun-tahun. Ini menunjukkan bahwa dalam beberapa kasus, kegiatan tadabur alam telah kehilangan esensinya sebagai sarana pengkaderan yang positif dan mendidik.
Perubahan ini sangat penting untuk dilakukan agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang. Oleh karena itu, perlu ada evaluasi besar dalam sistem kaderisasi IMM, terutama dalam forum Pimpinan IMM (PIM) yang akan kita jalankan bersama. Sistem dan cara-cara lama dalam perkaderan, termasuk dalam kegiatan tadabur alam, harus di-upgrade agar lebih relevan dengan kebutuhan zaman, tanpa mengurangi nilai-nilai dan substansi yang terkandung dalam kegiatan tersebut. Hal ini penting agar kaderisasi tetap bisa berjalan efektif dan produktif, serta memberikan dampak positif bagi setiap individu yang terlibat.
Terkait dengan forum DAM, saya juga ingin menekankan perlunya pembahasan ulang mengenai kegiatan tadabur alam. Kegiatan ini jangan sampai dijadikan sebagai ajang hura-hura atau sebagai sarana balas dendam antar sesama kader, yang justru akan menghilangkan tujuan utama dari tadabur alam itu sendiri. Tadabur alam seharusnya menjadi sarana yang mendalam untuk penanaman nilai-nilai dasar IMM, penguatan ikatan emosional antar kader, serta pemahaman terhadap pentingnya peran seorang kader dalam organisasi dan masyarakat. Dengan pendekatan yang lebih modern dan terstruktur, diharapkan kegiatan tadabur alam dapat kembali menciptakan pengalaman yang bermakna, memperkuat karakter kader, serta menghasilkan individu yang siap berkontribusi secara optimal dalam Ikatan dan masyarakat. ‘‘Terima kasih.‘‘