BudayaOpiniPeristiwa

Dou Dompu dan Dou Mbojo

Suradin, penulis adalah dou Dompu yang berasal dari Mbojo.

Entitas kedua masyarakat di dua kabupaten di wilayah timur pulau Sumbawa ini kerap menjadi perdebatan bahkan tidak jarang mengarah ke penghinaan satu sama lain di media sosial. Saling klaim mana yang duluan eksis di pulau Sumbawa bagian timur adalah sedikit dari sekian perdebatan itu. Dan jika diamati sekilas perdebatan itu bukan datang dari masyarakat akademisi. Bukan pula mereka yang datang dari latar belakang ilmu sejarah atau pemerhati sejarah yang berjibaku membuka lapis-lapis arsip dan dokumen. Atau mereka yang terbiasa melakukan riset mendalam dengan seperangkap teori dan konsep ilmu sejarah yang cukup ketat.

Mereka yang berdebat dan saling melempar hujatan itu malah mungkin tidak pernah membuka lembar-lembar sejarah yang sedang dipersoalkan. Karena dari lembar-lembar sejarah itulah masyarakat hari ini bisa mendapat gambaran tentang kedua wilayah yang bertetangga ini. Tidak hanya bertetangga tetapi malah disebut bersaudara.

Sejarah tidak dipahami dan dilihat hitam putih. Sejarah memiliki kompleksitas yang membutuhkan kemampuan untuk menyelam kedalaman peristiwa sejarah umat manusia di masa lalu. Dibutuhkan kemampuan khusus untuk mengurai satu persatu semua peristiwa yang sudah berlalu. Sehingga tidak perlu heran belum banyak pemerhati sejarah Bima dan Dompu mengurai hal ini secara tuntas dengan tulisan-tulisan yang mencerahkan masyarakar kedua wilayah ini.

Menurut hemat penulis penyebutan kata Dompu dan Bima dalam kontes hari ini sebenarnya tidak ada persoalan. Bagi sebagian orang Bima, penyebutan Bima sendiri memiliki banyak fersi. Demikian pula dengan sebutan Dompu bagi orang Dompu. Tetapi pada tulisan ini penulis tidak ingin menguraikan hal itu. Sebab penyebutan Bima dan Dompu memiliki akar perbedaan di antara keduanya. Perbedaan itu meliputi;

  1. Secara historis baik Bima maupun Dompu memiliki akar sejarah masing-masing. Bahkan dalam banyak sumber kedua penguasa wilayah ini memiliki hubungan baik terlebih di masa kesultanan. Namun hubungan baik itu tidak lantas menghilangkan entitas masing-masing masyarakat di kedua wilayah ini.
  2. Secara administrasi jelas keduanya tidak sama. Karena masing-masing wilayah ada penguasanya sejak lama, sehingga pengaturan kekuasaan berdasarkan kehendak yang sedang berkuasa baik dalam hal mengatur masyarakatnya maupun ketika membangun hubungan dengan penguasa lain di luar kekuasaannya.
  3. Secara politik sebagaiman disebutkan di atas sejak lama kedua wilayah ini telah memiliki penguasanya. Sehingga dalam urusan politik keduanya telah menjalangkan roda pemerintahannya masing-masing, baik ketika keduanya masih bertatus kerajaan, lebih-lebih di masa kesultanan.
  4. Geografis. Dalam hal kewilayahan tentu Dompu dan Bima memiliki wilayah masing-masing. Bima berada di sisi timur pulau Sumbawa, sementara Dompu berada di tengah Pulau Sumbawa. Hal ini jelas keduanya memiliki wilayah yang berbeda, walau pun di masa imperialisme Belanda terjadi intervensi terhadap pembagian wilayah pasca meletusnya gunung Tambora 1815.

Lalu apa yang sering diperdebatan oleh sebagian orang Dompu dan Bima di dunia maya?

Kalau diamati sekilas adalah yang menyangkut cultur atau budaya. Kalau berbicara cultur maka akan meliputi bahasa, sistem pengetahuan, organisasi sosial, sistem peralatan, mata pencaharian, religi dan seni . Maka karena berbicara cultur maka penulis memilih menggunakan diksi Dou Dompu dan Dou Mbojo, bukan diksi Bima dan Dompu.

Nah, kenapa sebagian dou Mbojo ‘menggugat’ dou Dompu menggunakan bahasa Mbojo dalam kesehariannya. Untuk menjawab ini memang tidak sederhana, tetapi melihat catatan sejarah dapat diketahui kenapa kebanyakkan kalau tidak mau disebut semua dou Dompu menggunakan bahasa Mbojo. Salah satu bukti historis menunjukkan bahwa pasca meletusnya gunung Tambora banyak Dou Mbojo yang melakukan migrasi ke wilayah Dompu.

Salah satu faktor yang melatar belakangi kedatangan dou Mbojo ini adalah mencari lahan baru di wilayah Dompu. Karena pada saat itu, Dompu mengalami kekurangan jumlah penduduk akibat letusan gunung Tambora. Seiring berjalannya waktu Dou Mbojo yang datang ini lalu membangun perkampungan yang dinamai dengan nama kampung asalnya. Sebut saja Renda, Ngali, Simpasai, Wawo, Ncera, Kuta, Lanta, Jala dan lain-lain.

Kehadiran dou Mbojo ini tidak hanya fisiknya saja tetapi juga membawa cultur asalnya. Mereka menggunakan bahasa Mbojo yang bercampur dengan bahasa Belanda dan bahasa Portugis. Hal ini yang memudahkan mereka berinteraksi dan berkomunikasi dengan Dou Dompu. Sebut saja beberapa kosa kata yang bukan bahasa Mbojo dan Dompu, misalnya lampa-lampa, santabe, jara, yang merupakan bahasa Melayu sementara songko, bendera, bola merupakan bahasa Portugis. Sementara lampu berasal dari kosa kata bahasa Belanda. Dan kosa kata yang disebutkan itu digunakan oleh Dou Dompu maupun dou Mbojo.

Adapun bahasa dou Dompu dan dou Mbojo salah satu yang bisa disebutkan di sini adalah Kalanggo (Dompu) Bue (Mbojo). Dan kaitan dengan bahasa ini perlu ada riset khusus. Penulis hanya sekilas menyebutkan bahwa mengenai bahasa dou Dompu dan dou Mbojo memiliki beberapa perbedaan disamping menggunakan bahasa yang sama dalam beberapa kesempatan.

Kehadiran dou Mbojo di wilayah dou Dompu perlahan tapi pasti telah ‘mengikis’ cultur dan identias ke-dompu-an. Di era milinear sangat sulit mengidentifikasi mana dou Dompu asli dan dou Mbojo sebagai pendatang. Kalau ada yang mengatakan dirinya dou Dompu asli bisa dipastikan sebagian kecil saja dari kesuluruhan masyarakat Dompu saat ini. Karena mereka yang mengaku dou Dompu saat ini juga sebagiannya adalah dou Mbojo. Mereka telah menjadi dou Dompu dengan segala cultur yang melekat pada dirinya.

Ketika dou Dompu berusaha menggali sejarah bangsanya saat ini tidak lantas dimaknai sebagai upaya menyaingi dou Mbojo. Karena pada dasarnya dou Dompu memiliki sejarahnya sendiri demikian juga dou Mbojo. Tidak ada alasan yang membenarkan ketika sebuah daerah yang berusaha menghidupkan nilai-nilai sejarah bangsanya sendiri lalu dituduh menjadi saingan. Tentu saja tuduhan seperti ini tidak memiliki dasar sejarah yang kuat.

Malah dengan upaya menggali nilai historis ini generasi Dompu dan Mbojo dapat menemukan bagaimana hubungan yang harmonis antara dou Dompu dan dou Mbojo di masa silam. Sebagaimana yang dikisahkan oleh Tance Muhammad (70) yang penulis intervew beberapa waktu yang lalu, ketika orang Kuta Parado (Bima) pertama kali datang ke wilayah selatan Dompu mereka diterima cukup baik oleh masyarakat Daha dan Hu’u kala itu. Daha dan Hu’u merupakan kampung asli yang berada di Dompu selatan. Bahkan menurut Tance tidak jarang orang Daha menyiapkan rumah atau tempat tinggal sementara bagi orang-orang yang datang dari Kuta Parado, sebelum mereka kemudian membangun perkampungan sendiri yang permanen.

Hal ini bisa ditemukan pada semua perkampungan dou Mbojo yang telah menetap di wilayah Dompu saat ini. Walaupun sudah menetap di Dompu mereka tidak lantas melupakan kampung dan keluarganya di Bima. Ini bisa dilihat ketika ada acara seperti pernikahan dan sunatan. Mereka saling mengunjungi satu sama lain. Bagi mereka tinggal di Dompu, sama saja tinggal di rumah saudaranya sendiri. Sebab antara Dou Dompu dan dou Mbojo memang bersaudara sejak lama. Mereka merawat hubungan baik itu tanpa pernah berselisih apa lagi bertikai.

Lalu kenapa hari ini dou Dompu dan dou Mbojo saling menghujat satu sama lain sementara nenek moyang mereka telah mewariskan nilai persaudaraan tanpa tapi.

Bisakah kita merenung sejenak darimana orang tua kita berasal?

FokusNTB

Pengelola menerima semua informasi tentang Nusa Tenggara Barat. Teks, foto, video, opini atau apa saja yang bisa dibagi kepada warga. Untuk berkirim informasi silakan email ke fokusntb@gmail.com

Related Articles

Back to top button