Budaya

Museum di Indonesia Harus Memiliki Branding dan Storytelling yang Kuat

Tulisan keempat ini akan membagi pengalaman yang didapatkan oleh Museum Bala Datu Ranga dalam sesi Workshop Capacity Building Museum Forward bagi para praktisi museum dan heritage pada hari ketiga kegiatan. Tema Branding dan Storytelling ini kami rasa sangat penting untuk diterapkan dalam museum-museum di Indonesia, termasuk museum kami.

Branding

Persoalan utama yang sering dihadapi oleh museum manapun adalah ketika museum tersebut tidak secara jelas mengetahui apa yang menjadi motivasi dan tujuan mereka ada. Hal ini kemudian akan berimbas pada pertanyaan untuk siapa museum ini ditujukan, apa yang menjadi keunggulan dan keunikan koleksinya. Kecenderungan yang banyak terjadi kebanyakan museum ingin menjadi ‘toko serba ada’ namun ‘gagal’ menunjukkan satu koleksi yang menjadi kekuatannya. Hasilnya, museum pun tidak dapat mendefinisikan secara jelas identitas mereka.

Pelatihan Pengembangan Kapasitas bagi para praktisi museum dan pegiat heritage yang bertajuk “Museum Branding with Purpose” yang difasilitasi oleh Cecilia Martin (konsultan branding Cultural Connection, London) membuka kelasnya dengan kalimat bernada inspiratif Stand Out for What You Stand For. Kalimat ini sebagai penyemangat bagi para pegiat museum yang seringkali harus berjuang sendiri dalam memikirkan dan mendefinisikan arah museum yang mereka kelola. Namun, hal ini tidak akan rumit jika museum tersebut sudah mengenali dirinya dan dapat melihat apa keotentikan yang melekat padanya.

Branding merupakan cara untuk memperkenalkan identitas museum kepada publiknya, tidak hanya bentuk, koleksi, namun juga nilai-nilai yang dibawanya. Museum tidak hanya mendefinisikan diri dari dalam institusinya namun juga perlu membuka diri untuk mendengarkan apa pendapat publik tentang institusinya sehingga penentuan branding diri yang pas dapat dilihat dengan cara yang berbeda.

Storytelling

Hampir sama dengan persoalan branding, museum di Indonesia juga masih memiliki persoalan yang besar terhadap cara storytelling atau penceritaan untuk menyampaikan apa keunggulan dari koleksi-koleksi yang mereka miliki. Sehingga benda-benda koleksi hanya terpajak dengan caption yang sangat minim.

Museum Bala Datu Ranga ikut berpartisipasi dalam kelas workshop “Storytelling of Indonesian Heritage” yang dipandu oleh Max Meijer (kurator dari Belanda). Beliau menggunakan salah satu pameran yang berjudul Ons Land (Negara Kami) untuk menjelaskan step by step dalam menyusun storytelling dan menyampaikannya dalam bentuk pameran kepada publik.

“Yang terpenting adalah kita tahu apa yang menjadi tujuan utama pamerannya, apakah sesuai dengan visi misi museumnya lalu melihat seberapa banyak koleksi yang dapat mendukung narasi yang akan diceritakan,” kata Max. Langkah pertama adalah kita melakukan pengamatan dan riset untuk pameran. Pengumpulan data dapat dilakukan dengan wawancara yang mungkin dapat menyentuh informan kita secara emosional. Hasil dari riset kemudian didesain dan dikemas dalam bentuk apa (media). Kekuatan cerita dalam pameran dapat disampaikan dalam bentuk tuturan, visual, artefak, dan sebagainya sehingga dapat menggugah penonton untuk mengalami, merasakan, dan mendapatkan kesan yang mendalam.

Dua kata kunci “Branding” dan “Storytelling” memiliki kesamaan tujuan dalam membawa museum yaitu dapat menyentuh publik melalui nilai-nilai yang diyakini museum maupun dari kekuatan narasi yang dibangun oleh museum. Apabila kedua kata kunci ini sudah bisa diterapkan dalam museum akan menjadi kekuatan yang luar biasa dalam menunjukkan jati diri dan visi misi museum tersebut.

*Tulisan keempat dari Yuli Andari Merdikaningtyas (Museum Bala Datu Ranga) yang diterbitkan atas kerjasama dengan Desk Budaya, Fokus NTB.

FokusNTB

Pengelola menerima semua informasi tentang Nusa Tenggara Barat. Teks, foto, video, opini atau apa saja yang bisa dibagi kepada warga. Untuk berkirim informasi silakan email ke fokusntb@gmail.com

Related Articles

Back to top button