Serikat Tani Nelayan NTB: Pemerintah Perlu Tertibkan Corn Dryer yang Tidak Miliki Lahan Inti

Mataram, Fokus NTB – Sepekan terakhir ini petani ribut soal harga jagung yang anjlok Rp.4.200 sampai dengan Rp.4.300/kg, sebagian besar petani jagung berada wilayah pulau Sumbawa dan sekitarnya, namun secara jelas sampai hari ini regulasi yang mengatur budidaya dan pembelian jagung tidak sama sekali tertera dengan detail, baik hak dan kewajiban perusahaan, serta kewenangan pemerintah mengatur pemilik pabrik corn dryer (gudang jagung) tersebut.
Ketua Serikat Tani Nelayan NTB (STN) Irfan menjelaskan, hal penting yang perlu dicermati dalam persoalan monokultur jagung ini yakni betulkah sebagian besar petani tanam jagung dilahan milik dan datar? Sehingga penting bagi pemerintah menertibkan pemilik gudang dan corn drayer, guna mengetahui lahan inti sehingga kapasitas daya tampung corn dryer, dan kemampuan daya beli dapat diketahui.
Di satu sisi juga, pemerintah harus menertibkan luas lahan yang digarap oleh pemilik corn dryer untuk bahan baku jagung ini. Berdasarkan data BRIN tahun 2022, di Bima, kota Bima dan Dompu ada 202 ribu Ha lahan jagung (termasuk 58 ribu berada di kawasan hutan), tapi 117 ribu ha pada kelerengan diatas 15-30 sudah miring dan terjal. Lebih 50 persen lahan jagung di lahan miring yang kedepan produktifitasnya akan terus menurun. Inilah potensi desertifikasi di Pulau Sumbawa. Dan produktifitas akan terus turun serta akan banyak makan pupuk.
Data BRIN.2022, sebagian besar sungai-sungai di Bima dan Dompu sudah kontaminasi amoniak diatas baku mutu. “Kita tunggu saja Sumbawa akan seperti Bima dan Dompu,” ungkap Irfan, Kamis (18/4).
Nah alasan daya dukung, daya tampung (DDDT) lah yang membuat kita risau, dapat mempengaruhi daya beli dan anjloknya harga hasil panen petani (HPP), maka di sisi lingkungan berakibat kerusakan DAS yg selama ini menyuplai air bendungan. DAS yang relatif sehat saja seperti DAS Sumbawa yang hulunya Batudulang mulai kita khawatir, apalagi DAS2 di Sumbawa bagian timur dan DAS Beh, begitupun yang di Dompu dan Bima.
“Silahkan bisnis jagung tapi harus punya lahan intinya. Sama dengan industri plywood mereka harus punya HTI, industri pulp and oaper mereka harus punya HTI sebagai sumber bahan baku. Jadi sebenarnya tuntutan kita gak berat kok. Untuk menciptakan governance di industri corn drayer dan sustainability,” ucap Irfan
Produktifitas ini akan terus turun sehingga petani akan cari pupuk sebanyak mungkin utk menggenjot produktifitas. Akibat proses kimiawi over penggunaan pupuk tanah semakin keras, pencemaran sungai akibat terbawa oleh run off. Terlalu mahal harga dan biaya lingkungan yg harus kita bayar demi investasi ini, papar Irfan.
Itulah kami usul dan dorong pemerintah agar lahan inti yang harus ada pada setiap pemilik corn dryer sebagai sumber bahan baku. Dan dapat digabungkan bekerjasama dengan kelompok tani atau Gapoktan. Dalam hal ini maka petani pemilik lahan (HGU) akan punya hubungan kontraktual dengan pengusaha corn dryer, dan petani tidak lagi menjadi obyek permainan harga jagung, karena sudah punya hubungan kontraktual, pungkas Irfan.