EdukasiOpini

Copra Capres 2024: Millenial Jangan Sampai Terjebak

Sejak beberapa partai politik mendeklarasikan kadernya sebagai calon presiden 2024, pembicara masyarakat hingga opini media seketika beralih ke politik 2024. Bahkan, tidak jarang dimomentum lebaran kemarin, rasanya banyak keluarga yang membicarakan tentang capres dan cawapres 2024. Hingga saat ini, dibeberkan media pemberitaan, media sosial seperti Instagram, Facebook, Tiktok dan WhatsApp grup hampir semua isinya tentang politik. Semua membuat analisis, semua angkat bicara dan hampir semua tenaga dan pikiran manusia tercurahkan ke politik.

Sejak orde baru hingga reformasi dewasa ini, yang kita saksikan dari para pemimpin negeri ini adalah balutan citra untuk kepentingan kuasa atas SDA dan materi. Padahal seharusnya jika lebih jauh lagi, dalam falsafah Jawa kita mengenal istilah Kawula iku Ono tanpa watas, ratu Kuwi ane mung winatas (rakyat ada tanpa batas, raja ada batasnya). Maka konsekwensinya, penguasa harus menghargai kawula (rakyat), tidak malah merampas/merebut hak rakyat sebagaimana yang )kita saksikan saat ini.

Maka, tidak ada yang bisa menjamin kekuasaan lusa bisa keluar dari jerat lingkaran setan, bisa jadi setannya yang akan bertahan. Toh, selama referensi, sudah beberapa kali pergantian kepemimpinan disertai ribuan persoalan yang hampir sama, persoalan kemiskinan, kerusakan alam, korupsi, kolusi, nepotisme. Persoalan-persoalan tersebut bukannya kelar, malah menjadi-jadi. Hal ini berlaku tidak hanya dalam skala nasional, tapi di daerah-daerah juga seperti itu.

Sejarah kelam politik Indonesia dari Orde Baru sampai Reformasi mencakup periode panjang yang penuh dengan peristiwa penting dan kontroversial dalam sejarah modern Indonesia. Berikut adalah rangkuman singkat dari sejarah politik Indonesia selama periode ini:

Orde Baru (1966-1998):

Setelah kudeta militer pada tahun 1965 yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, Indonesia memasuki era Orde Baru. Pemerintahan Orde Baru dikenal dengan sentralisasi kekuasaan yang kuat di tangan presiden, kontrol terpusat atas media, dan pelarangan kegiatan politik yang dianggap subversif atau mengancam stabilitas pemerintahan.

Namun, dalam prakteknya, Orde Baru juga dikenal dengan korupsi, pelanggaran hak asasi manusia, dan kebijakan-kebijakan yang merugikan kepentingan rakyat, seperti pengalihan lahan yang merugikan petani ke tangan perusahaan besar dan pengabaian terhadap hak-hak minoritas.

Puncak dari kekuasaan Orde Baru adalah pada tahun 1998 ketika terjadi kerusuhan di seluruh Indonesia setelah pembunuhan mahasiswa oleh aparat keamanan. Pada akhirnya, Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai presiden dan memulai periode reformasi.

Reformasi (1998-sekarang):

Setelah kejatuhan Soeharto, Indonesia memasuki periode reformasi yang ditandai dengan perubahan besar dalam politik dan kehidupan sosial di Indonesia. Beberapa perubahan penting yang terjadi selama periode ini antara lain: pelonggaran kontrol terhadap media dan kebebasan berekspresi, pemulihan hak-hak minoritas dan hak asasi manusia, reformasi ekonomi dan perluasan demokrasi.

Meskipun ada beberapa kemajuan yang dicapai selama periode reformasi, namun Indonesia masih dihadapkan pada banyak tantangan politik dan sosial, seperti korupsi, konflik antar etnis, dan radikalisme. Namun, semangat reformasi dan perjuangan untuk mewujudkan demokrasi dan hak asasi manusia terus dilanjutkan oleh berbagai kelompok masyarakat di Indonesia hingga saat ini. Meskipun Reformasi telah membawa perubahan besar dalam politik dan kehidupan sosial di Indonesia, namun masih terdapat beberapa catatan hitam yang mengiringi perubahan tersebut. Berikut adalah beberapa catatan hitam Reformasi di Indonesia:

Catatan hitam reformasi adalah kumpulan dari berbagai masalah dan ketidaksempurnaan yang muncul selama periode reformasi di Indonesia yang dimulai pada tahun 1998 setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Meskipun reformasi memperkenalkan demokrasi yang lebih besar dan kebebasan sipil, masih banyak masalah yang harus dihadapi Indonesia saat ini.

Berikut adalah beberapa contoh dari catatan hitam reformasi di Indonesia:

  1. Korupsi dan Nepotisme

Data dari Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagaimana dikutip dari https://dataindonesia.id/, terdapat 579 kasus korupsi yang telah ditindak di Indonesia sepanjang 2022. Jumlah itu meningkat 8,63% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 533 kasus. Dari berbagai kasus tersebut, ada 1.396 orang yang dijadikan tersangka korupsi di dalam negeri. Jumlahnya juga naik 19,01% dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 1.173 tersangka. Hal tersebut menggambar bahwa korupsi dari tahun ke tahun tidak pernah daat diselesaikan oleh pemimpin di negeri ini, walau ditiap kampanye selalu berbusa-busa mengatakan akan menyelesaikan korupsi dan bla-bla. Alih-alih menyelesaikan, yang ada korupsi dari meningkat tiap tahun.

Selain korupsi, kita juga menyaksikan nepotisme dengan adanya dinasti politik di negeri kita. Lihat saja, mulai dari anak hingga menantu presiden menjadi dinasti kecil di tempatnya masing-masing. Di sekitar kita juga tidak jarang anak, menantu, saudara, dan sanak family penguasa mendapat jabatan startegis lengkap dengan proyeknya. Data yang dikeluarkan oleh https://databoks.katadata.co.id/ pada 2020, dalam upaya melakukan riset di pengadilan, 20% responden mengaku menggunakan orang dalam. tempat pelayanan dokumen identitas dan kantor polisi juga rawan dengan praktik nepotisme, setidaknya 19% mengaku menggunakan orang dalam.

  1. Ketidaksetaraan Ekonomi

Meskipun ekonomi Indonesia telah tumbuh dalam beberapa tahun terakhir, masih banyak penduduk Indonesia yang hidup dalam kemiskinan. Ketimpangan ekonomi yang tinggi membuat banyak orang merasa terpinggirkan dan tidak memiliki akses yang sama ke fasilitas publik dan kesempatan ekonomi. Akses ekonomi secara umum hanya dikuasai oleh kaum pemodal. Masyarakat akar rumput selalu menjadi korban, lihat saja para petani kita yang tidak mendapat keadilan, saat musim tanam harga pupuk melambung tinggi, ketika musim panen tiba, hasil panen masyarakat dihargai dengan sangat rendah. Belum lagi akses infrastruktur yang belum merata di Indonesia, membuat warga di pedalam sulit untuk mengakses informasi secara sepat. Kalau bahasa salah satu komedian di Indonesia, Pemerintah ini lebih suka dan akan lebih memilih memperbaiki jalan hidupnya, daripada jalan yang dilalui warga.

  • Pelanggaran Hak Asasi Manusia

Reformasi telah tumbuh sekian tahun, yang utama dijanjika reformasi dahulu ada kesetaran hak dan kebebasan individu dalalm bersuara akan tetapi, masih banyak pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di negara ini. Penindasan minoritas agama dan etnis, penganiayaan terhadap jurnalis, serta kekerasan polisi terhadap warga sipil. Tidak jarang tiap kali mahasiswa dan masyarakat menyampai aspirasi bentrok dengan polisi atau kemanan, represif kepolisian amat nyata. Belum lagi kasus Papua, Wadas, ketidak adilan lainya hampir seluruh Indonesia. Dari data yang dirilis oleh Direktorat Jendral HAM (https://ham.go.id/) ada ratusan kasus pelanggaran HAM terhadap 14 kelompok dan semua tersebar diseluruh provinsi yang ada di Indonesia. Saya yakin masih ada banyak kasus pelanggaran HAM di negeri tercinta.

  • Ketidakstabilan Politik

Salah satu alasan  terjadinya reformasi 1998 ialah ketidakstabilan poitik saat itu. Reformasi diharapkan menjadi cara sekaligus wajab baru untuk politik yang demokratis. Akan tetapi, nyatanya reformasi masih menyisakan ketidakstabilan politik hingga saat ini. Catatan tentang perpecahan elit hingga rakyat menjadi bukti bahwa reformasi gagal menstabilkan politik di Indonesia. Tahun 2014 saat pemilihan presiden memperlihatkan kebobrokan dari sistem demokrasi ala reformasi yang sangat liberal dan selalu berujung pa politik pecah belah umat, utamanya umat Islam. Belum lagi pada saat pemilihan gubernur DKI, Anies vs Ahok yang menyisakan perpecahan ummat hingga sekrang. Kini, politik 2024 perpecahan akibat perbedaan pilihan sudah mulai nampak. Demokrasi ala reformasi telah menjadi prodok gagal dalam banyak hal. Bisa jadi kita harus kembali pada nilai Pancasila dan kesejati dirian Nusantara.

  • Pendidikan yang Tidak Berkualitas

Institusi pendidikan tidak lebih dari sebuah pabrik yang bertugas mencetak dan memproduksi tenaga-tenaga kerja terdidik dengan keseragaman pola pikir yang patuh dan tidak kritis. Pabrik ini akan terus-menerus menyesuaikan cetakannya agar “produk-produknya” selalu sesuai dengan permintaan pasar.

Pendidikan Nasional telah gagal mecetak manusia berakhlak profetik, hal ini bisa dilihat darimunculnya kasus siswa yang memukuli guru, misalnya  di Pontianak pada tahun 2017 siswa MTs hantam guru dengan kursi (liputan6.com), ditahun yang sama EY (inisial), murid SMA Negeri Kubu Raya, Kalimantan Barat memukuli guru dengan Kursi (today.len.id), bahkan tahun 2018 lalu di Sampang murid tega menganiaya gurunya hingga tewas (detik.com), dan masih banyak lagi kasus lain yang tersebar di media.

Secara keseluruhan, catatan hitam reformasi di Indonesia menunjukkan bahwa masih ada banyak masalah yang harus diatasi di negara ini untuk mencapai masyarakat yang lebih adil, demokratis, dan sejahtera. Tantangan saat ini hingga nanti pemilu 2024 masih tetap sama. Pertanyaan saat ini, pasca adanya kepemimpinan baru nanti mampunkah persoalan-persolan ini dijawab? Apa kah mereka akan tetap jadi kader partai yang manut sama ibu?

Maka, kalau dari saya, selama sistem kita masih liberal dan bertulang punggung pada uang, negeri ini tidak akan meredeka secara utuh, rakyat tidak pernah menjadi rakyat dalam arti yang sesunggugnya, mereka hanya akan jadi alat bagi setan dan iblis berwujud penguasa dan pemodal.

Millenial sebagai suara penentu dalam semua proses pembangunan bangsa, tidak boleh terjebak dalam ruang-ruang politik jangka pendek. Sudah saatnya kita menyiapkan desain mesa depan yang digerakkan secara kolektif dengan melakukan perlawanan secara konsisten dan tanpa jeda. Sebagaimana perlawanan yang dilakukan oleh Rasulullah dalam membumikan Islam yang Rahmatan Lil ‘Alamin. Ada banyak jalan dalam melakukan perlawan, mulalui gerakan kebudayan, gerakan politik secara masif atau gerakan revolusi? Semua menjadi pilihan yang bisa terjadi kapan saja. Api perlawanan harus terus menyala dan tidak boleh padam.

Oleh: Hendra Jaya

Related Articles

Back to top button