Kejinya Tuduhan dan Fitnah GAR ITB Atas Prof. Din Syamsuddin
Dalam Laporannya Nomor : 05/Lap/GAR-ITB/X/2020. Gerakan Anti Radikalisme Institute Teknologi Bandung (GAR ITB) memuat 6 delik laporan terhadap Prof. Din Syamsuddin kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN). Oleh KASN laporan tersebut telah dilimpahkan ke Satgas Penanganan Radikalisme ASN melalui surat KASN Nomor : B-3766/KASN/11/2020 tanggal 24 November 2020, perihal Pelimpahan atas Laporan pengaduan GAR ITB dan juga ke Kementerian Agama melalui surat KASN Nomor B-613/KASN/2/2021 tanggal 4 Februari 2021 untuk klarifikasi dan tindak lanjut.
Satgas Penanganan Radikalisme ASN terdiri dari 11 Kementerian dan Lembaga yang dibentuk berdasar Surat Keputusan Bersama (SKB 11 Menteri). 11 Kementerian dan Lembaga tersebut adalah Badan Inteleken Negara (BIN), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Pembina Ideologi Pancasila, Kemenpan RB, Kemendagri, Kemenkumham, Kemenag, Kemendikbud, Kemenkominfo, BKN dan KASN.
Beberapa hari terakhir GAR membantah bahwa mereka tidak sedang menuduh Prof Din Syamsuddin Radikal, tuduhan radikal dianggap plintiran dan publik dipandang tidak membaca laporan. hal tersebut jelas kebohongan karena perwakilan GAR jelas mempermasalahkan radikalisme. Dalam berita Tempo (https://nasional.tempo.co/read/1432539/kasn-limpahkan-aduan-soal-din-syamsuddin-ke-satgas-penanganan-radikalisme) Shinta Madesari mengatakan, KASN telah menyatakan Din Syamsuddin melakukan tindakan radikalisme. Ia mengirimkan salinan surat KASN yang ditujukan ke Menteri Kominfo selaku anggota Tim Satuan Tugas Penanganan Radikalisme. Menurut Shinta, Dalam poin ketiga surat KASN ke Satgas tersebut, KASN menyebutkan “berdasarkan Surat Keputusan Bersama 11 Menteri/Kepala Badan tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada ASN, dugaan pelanggaran seperti yang diadukan GAR ITB itu termasuk dalam jenis tindakan radikalisme.”
Dari sinilah respon publik kemudian ramai. Tuduhan radikalisme kepada tokoh dunia di bidang perdamaian adalah tuduhan serius dan merusak tudak hanya kredibilitas pribadi Prof Din tetapi juga berbagai proposal Indonesia dalam keterlibatannya selama ini dalam membangun jembatan pengertian atar peradaban di dunia. Berikut 6 delik laporan GAR ITB:
1) Bersikap konfrontatif terhadap lembaga negara dan terhadap keputusannya.
Terkait pelimpahan surat dari KASN ke Satgas Penanganan Radikalisme tersebut. Perwakilan GAR ITB, Shinta Madesari mengatakan, KASN telah menyatakan Din Syamsuddin melakukan tindakan radikalisme. Tempo memberitakan bahwa Shinta mengirimkan salinan surat KASN kepada Menteri Komunikasi dan Informatika selaku anggota Tim Satuan Tugas Penanganan Radikalisme. Shinta mengaku, KASN telah menyatakan Din Syamsuddin melakukan tindakan radikalisme Dalam poin ketiga surat pelimpahan KASN ke Satgas, KASN menyebutkan bahwa berdasarkan Surat Keputusan Bersama 11 Menteri/Kepala Badan tentang Penanganan Radikalisme dalam Rangka Penguatan Wawasan Kebangsaan pada ASN, dugaan pelanggaran seperti yang diadukan GAR ITB itu termasuk dalam jenis tindakan radikalisme.
Selain kepada Satgas Penanganan Radikalisme, Laporan GAR juga sudah dilimpahkan kepada Kementerian Agama sebagai
2) Mendiskreditkan Pemerintah, menstimulasi perlawanan terhadap Pemerintah, yang beresiko untuk terjadinya proses disintegrasi bangsa
3) Melakukan framing yang menyesatkan pemahaman masyarakat umum, dan mencederai kredibilitas Pemerintah RI yang sah
4) Menjadi pemimpin dari kelompok yang beroposisi terhadap Pemerintah
5) Menyebarkan kebohongan, melontarkan fitnah, serta mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah
6) Melontarkan fitnah dan mengeksploitasi sentimen agama
6 delik laporan GAR tersbeut adalah tuduhan keras dan serius serta fitnah bagi seorang Guru Besar Universitas Negeri yang juga seorang tokoh perdamaian dunia yang kata katanya telah menjadi referensi dunia dalam tema tema perdamaian, toleransi, demokrasi, HAM, kesetaraan Gender dan Lingkungan.
Labeling tersebut adalah pembunuhan karakter bagi seorang duta dunia di bidang perdamaian, namun di negaranya sendiri justru diblackmail sebagai sosok yang anti perdamaian dan tidak bisa menerima perbedaan. Maka maraknya respon publik atas tuduhan keji itu dapat dibenarkan karena Prof Din Syamsuddin ada aset bagi Indonesia dan Umat Islam yang selama ini telah sedang terus menjurubicarai Islam Moderat, Wasatiyat Islam dan juga terus mengkampanyekan Pancasila sebagai tawaran ideologi dunia di berbagai forum forum Internasional. Menghancurkan karakter Prof Din Syamsuddin dengan labeling radikalis dengan segala varian definisinya yang sumir tersebut telah jelas dan nyata sama dengan menghancurkan kredibilitas diri dan berbagai view yang pernah ditawarkan Prof Din di berbagai Forum dunia. Yang dalam hal ini juga secara nyata menghancurkan catatan kredebilitas Indonesia sebagai negara penyeru resolusi konflik antar peradaban.
Mari kita Bedah Satu Persatu Tuduhan GAR
Tuduhan Pertama
GAR menuduh Prof Din Syamsuddin Konfrontatif terhadap lembaga negara dan keputusan lembaga negara. GAR menghadirkan bukti sebuah laman online, di mana Prof. Din Bersatemen “Adanya Rona ketidakjujuran dan ketidakadilan dalam proses peradilan di Mahkamah Konstitusi, yang memproses serta memutus perkara sengketa Pilpres 2019”
GAR memandang pernyataan tersebut mencerminkan perilaku seorang PNS yang telah melanggar sumpahnya sebagai PNS dan kewajibannya sebagai Pegawai ASN, yang harus senantiasa menjunjung tinggi martabat PNS. Dalam konteks ini, GAR ITB mendefinisikan “PNS yang bermartabat” adalah PNS yang selalu tunduk serta taat sepenuhnya terhadap segala bentuk ketentuan hukum yang secara resmi berlaku mengikat dalam wilayah hukum Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Terkait hal ini GAR tidak memiliki perbendaharaan kata yang cukup dalam memaknai kata “rona”. Merujuk ke berita Online yang diajukan oleh GAR dimana Prof Din menyatakan “adanya rona ketidakjujuran dan keadilan dalam peradilan Pemilu di MK”. Kata Ronanya disebut haruslah dimaknai sepadan dengan kata “tampaknya”. Rona sendiri dalam KBBI berarti warna dan atau rupa, yang terkadang digunakan dalam bahasa komunikasi sebagai sinonim dari kata “tampaknya”. Pilihan diksi “ronanya” dari Prof Din sama sekali tidak sedang menuduh dan atau tidak menerima hasil dari sebuah lembaga peradilan yang telah sah dan mengikat.
Dalam hal ini GAR juga miskin perbendaharaan ilmu hukum, bahwa putusan pengadilan yang sudah memiliki kekuatan hukum bisa dieksaminasi oleh akademisi. Dalam ruang eksaminasi bahkan akademisi boleh mengatakan putusan pengadilan salah. Inilah panggung mimbar bebas akademik yang tidak ada hubungannya dengan konfrontosi terhadap lembaga negara apalagi dihubungkan dengan tuduhan melanggar sumpah PNS. Justru karena Prof Din sebagai ASN yang akademisi maka berkewajiban memberikan eksaminasi terhadap putusan pengadilan.
Tuduhan Kedua
Dalam webinar yang berjudul “Menyoal Kebebasan Berpendapat dan Konstitusionalitas Pemakzulan Presiden di Era Pandemi Covid-19” yang diselenggarakan oleh Masyarakat Hukum Tata Negara Muhammadyah (MAHUTAMA) dan Kolegium Jurist Institute (KJI),
Prof Din dipandang sedang menunjukkan kekonsistenannya untuk menyuarakan penilaian yang negatif terhadap Pemerintah Indonesia. Dalam Webinar tersebut GAR menuduh Prof Din Mendiskreditkan Pemerintah, menstimulasi perlawanan terhadap Pemerintah, yang beresiko untuk terjadinya proses disintegrasi bangsa. Tindakan ini oleh GAR dipandang sebagai pelanggaran atas nilai dasar yang menjadi landasan prinsip bagi setiap Pegawai ASN, untuk setia dan mempertahankan pemerintahan yang sah.
Terkait tuduhan tersebut pembaca bisa mendengar ulang paparan Prof Din Syamsuddin di Youtube (Link https://youtu.be/eZUgww362s8). Ini adalah sebuah forum Ilmiah di mana Prof Din sebagai seorang akademisi memaparkan kontitusionalitas pemakzulan Presiden berbasis teori dan legalitas dalam konstitusi. Di dalam konstitusi Presiden memang bisa dimakzuljan jika memenhi prasyarat prasyarat yang diaturbdalam artcle of impeachment. Diskusi ilmiah yang normanya diatur oleh konstitusi ini justru dipandang GAR sebagai pelanggaran Prof Din atas disiplin, kode etik dan Sumpah PNS. Betapa absurdnya jika mimbar akademik dipandang sebagai pelanggaran. Padahal sekali lagi akademisi boleh menyampaikan thesis apapun dan forum manapun yang dilahirkan berdasar metodologi ilmiah yang disusun.
Tuduhan Ketiga
GAR menuduh Prof Din Syamsuddin Melakukan framing yang menyesatkan pemahaman masyarakat umum, dan mencederai kredibilitas Pemerintah RI yang sah. GAR mendasari tuduhan ini terkait dengan pristiwa pra deklarasi KAMI pada tanggal 2 Agustus 2020. GAR memandang dalam acara tersebut Prof Din Syamsuddin mengesankan seolah-olah negara sedang dalam kondisi sangat darurat, akibat dari praktek oligarkhi, kleptokrasi, korupsi, dan politik dinasti. GAR memandang kesan Prof Din tersbeut tidak benar, yang dalam hal ini tidak benar Indonesia penuh praktek korupsi, kleptokrasi dan praktek oligarky. Sikap Prof Din tersebut dipandang melanggar sumpah PNS yang harus setia kepada pemerintahan yang sah dan menjunjung tinggi kehormatan pemerintah.
Terkait hal tersebut, ada baiknya GAR membaca indek persepsi korupsi Indonesia yang terus memburuk. Korupsi dana bansoa terjadi secara masif di tengah pandemi. GAR lagi lagi menghukumi kesan seseorang yang di dalam negara demokrasi apalagi terkait seorang akademisi bebas menyuarakan pendapatnya. UU ASN lahir sebagai penegasan loyalitas PNS terhadap Negara, bukan terhadap pemerintah, yang untuk itulah istilah Aparatur Sipil Negara lahir. Loyalitas PNS itu pada teks dan kebenaran, pada tupoksi, bukan kepada atasan atau pemerintah. Jika pemerintah melenceng dari teks maka Tupoksi ASN apalagi dalam hal ini akademisi wajib menyampaikan pendapatnya, tidak boleh diam melihat pelencengan terjadi. Contoh, apakah yang karena dalam sumpah jabatan PNS harus menjunjung kehormatan pemerintah, lalu harus diam dan tidak boleh bicara melihat seorang pejabat pemerintah yang sedang korupsi?
Tuduhan Keempat
GAR menuduh Prof Din Syamsuddin menjadi pemimpin dari kelompok yang beroposisi terhadap Pemerintah. Hal tersebut didasarkan atas posisi Prof Din Syamsuddin sebagai Presidium KAMI yang oleh GAR dipandang sebagai kelompok oposisi. Posisi tersebut bagi GAR adalah pelanggaran atas sumpahnya sebagai PNS maupun kewajibannya sebagai Pegawai ASN, untuk selalu setia dan taat sepenuhnya kepada Pemerintah yang sah.
Lagi lagi GAR menuduh seseorang berbasis persepektif subjektif dengan tuduhan tuduhan yang sangat serius dan keras. Tidak pernah ada satupun statemen bahwa KAMI selain sebagai sebuah ikhtiar untuk meluruskan kiblat negara-bangsa pada rel dan cita cita konstitusi. KAMI adalah kelompok kritis yang menjadi vitamin bagi pemerintah dalam mnjalankan roda kekuasaan dan dilegalkan oleh konstitusi. Tidak ada yang melarang siapapun warga negara untuk mengambil hak konstitusionalnya berkumpul dan berserikat dan menyatakan pendapatnya di muka umum baik sebagai ASN atau dalam profesi apapun. Hak konstitusional ini tidak tidak bisa dibenturkan dengan profesi sebagai seorang ASN.
Selain itu bahwa posisi Prof Ein Syamsuddin tidak semata bisa diikat dengan UU ASN, karena ada UU lex Specialis terkait dirinya dalam kapasitas sebagai dosen. Dosen sekali lagi bebas mengekpresikan segala thesis yang dimiliki atas realitas kehidupan berbanhsa dan bernegara melalui forum apapun. Benar Prof Din Syamsuddin adalah seorang ASN akan tetapi dalam kapasitas sebagai dosen, sendiri yang mengaturnya.
Tuduhan Kelima
GAR menuduh Prof Din Syamsuddin Menyebarkan kebohongan, melontarkan fitnah, serta mengagitasi publik agar bergerak melakukan perlawanan terhadap pemerintahan yang sah. GAR mendasari tuduhan ini terkait pidato Prof Din Syamsuddin pada deklarasi KAMI di Bandung yang berbunyi “….karena apa yang telah terjadi selama ini adalah penyelewengan-penyelewengan nilai-nilai dasar, cita-cita nasional yang telah diletakkan oleh para pendiri bangsa ini….”
Ini adalah tuduhan serius dari GAR pada pribadi seorang Prof Din Syamsuddin dan bisa berakibat pidana karena memfitnah bahwa Prof Din menggalang kekuatan perlawanan terhadap negara. Padahal sekali lagi pidato Prof Din Syamsuddin tersebut masih dalam kerangka dan kapasitas nya sebagai seorang pemikir yang mendialektkkan norma dan nilai dasar dalam konstitusi dengan realitas penyelenggaran pemerintahan dewasa ini. Siapapun warga negara dilindungi konstitusi untuk menyampaikan pendapatnya di muka umum.
Tuduhan Keenam
GAR menuduh Prof Din Syamsuddin Melontarkan fitnah dan mengeksploitasi sentimen agama. Sekali lagi dengan narasi yang sama, GAR menyerang pribadi Prof Din Syamsuddin dengan fitnah yang keji. Sebagai tokoh lintas agama yang diterima oleh semua pemuka agama baik di Indonesia maupun dunia, Prof Din justru difitnah mengeksploitasi sentimen agama, inilah adalah tuduhan SARA yang berakibat pidana.
Dari 6 tuduhan GAR tersebut, sudah jelas dan terang menderang bahwa GAR telah membangun narasi kebencian atas diri seorang Guru Besar, pemikir, akademisi, tokoh perdamaian dunia sebagai seorang radikalis. 6 point yang sesungguhnya adalah fitnah yang keji dan masuk ke dalam banyak delik pidana. Dan kami sangat menyayangkan sikap lembaga negara yang dalam hal ini KASN ikut terlibat dalam framing yang dibangun GAR. Hal tersebut terbukti berdasarkan keterangan perwakilan GAR Shinta Madesari di koran Tempo, ia mengaku point ke tiga dari surat pelimpahan berkas KASN ke Satgas Penanganan Radikalisme berisi KASN telah memutuskan Prof Din Syamsuddin sebagai pelaku radikal, yang untuk itu berkas dilimpahkan ke Satgas Penanganan Radikalisme.